Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Dasar Kurikulum

Konsep Dasar Kurikulum-Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu sistem yang kompleks yang terbentuk dari bagian-bagian memiliki hubungan fungsional dalam suatu usaha mencapai tujuan akhir pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dapat digambarkan sebagai kesatuan sejumlah subsistem yang membentuk suatu sistem yang utuh.

Sistem pendidikan ini memperoleh masukan dari suprasistem (masyarakat dan lingkungan), dan memberi keluaran atau hasil bagi suprasistem tersebut. Subsistem pendidikan yang dimaksud di atas antara lain tujuan, siswa, manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan. 


Uraian tentang subsistem tersebut menunjukkan bahwa pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Untuk pencapaian tujuan tersebut diperlukan seperangkat bahan pembelajaran yang harus dipertimbangkan, juga metode penyampaian dan alat-alat bantu tertentu. Sementara untuk menilai hasil dan proses pendidikan diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian tertentu.

Penentuan semuanya itu akan sangat dipengaruhi oleh fasilitas, tenaga pengajar, siswa, dan biaya pendidikan. Karena banyaknya subsistem yang akan membentuk suatu sistem pendidikan, maka diperlukan perencanaan yang matang untuk mewujudkan system yang terencana dengan baik. Perencanaan tersebut dikenal dengan nama kurikulum. 

Para ahli memberikan batasan konsep kurikulum secara beragam, mulai dari sekedar written curriculum atau dokumen tertulis sampai pada implemented curriculum atau kurikulum yang dilaksanakan. Batasan-batasan ini sangat bergantung pada pandangan dan pengalaman para ahli. Hal itu terjadi karena mereka berangkat dari perspektif yang berbeda-beda. Karenanya, tidak ada batasan tentang kurikulum yang mutlak benar atau mutlak salah. 

Secara etimologis, kata “kurikukum” berasal dari bahasa latin yang kata dasarnya adalah currere. Kata ini digunakan untuk memberi tempat perlombaan lari. Karena dipakai untuk sebuah perlombaan, pada lapangan tersebut terdapat garis “start” dan batas “finish”, untuk menunjukkan tempat memulai dan mengakhiri perlombaan. Dalam perkembangannya, kata ini kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan. Di dunia pendidikan penggunaan kata kurikulum menjadi jauh lebih populer jika dibandingkan dengan sebelumnya. 

Tyler (1949) memaknai kurikulum dengan bertolak dari empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum. Keempat pertanyaan tersebut mencakup: (1) Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah? (2) Pengalaman-pengalaman belajar seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan dimaksud? (3) Bagaimana pengalaman belajar diorganisasikan secara efektif? dan (4) Bagaimana cara menentukan bahwa tujuan pendidikan telah dapat dicapai? Kalau semua pertanyaan mendasar itu dapat dijawab dengan baik, di situlah makna kurikulum yang dia maksudkan. 

Franklin Bobbit (dalam Suud Karim Alkarhumi) menyatakan bahwa: the curriculum can be defined in two ways: (1) it is the range of experiences, both indirect and directed, concerned in unfolding the abilities of the individual’ atau (2) it is a series of consciously directed training experiences that the schools use for completing and perfecting the individual’. Batasan ini menyiratkan kurikulum sebagai ‘pengalaman peserta didik’. Diungkapkan juga bahwa; ‘‘(Curriculum is) that series of things which children and youth must do and experience by way of developing abilities to do things well that make up the affairs of adult life; and to be in all respects what adults should be". 

Alkarhumi dengan mengutip Caswell dan Campbell (1935) selanjutnya mempertajam batasan ini dengan mengaitkannya dengan peran institusi. Kurikulum dimaknai sebagai ‘composed of all of the experiences children have under the guidance of the school.’ Pada pertengahan tahun 1950-an batasan ini dipertegas lagi dengan tambahan ‘terencana dan terkendali’ sehingga kurikulum sebagai program terencana untuk mencapai tujuan pendidikan. 

Selanjutnya Saylor, dkk (1981), kurikulum dapat dilihat dari empat pandangan, yaitu: (1) kurikulum sebagai tujuan (the curriculum as objectives), (2) kurikulum sebagai kesempatan belajar yang terencana (The curriculum as planned opportunities for learning), (3) kurikulum sebagai mata pelajaran/mata kuliah (The curriculum as subjects and subject matter), dan (4) kurikulum sebagai pengalaman (The curriculum as experience). 

Pada awalnya pengembangan kurikulum hanya semata-mata dilandasi pada perumusan tujuan. Dengan pendekatan manajemen ilmiah dalam dunia industri, Bobbit (1924) menerapkan prinsip ini dengan menetapkan tujuan yang meliputi keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan bagi lulusan. Konsep tentang kurikulum sebagai tujuan banyak mempengaruhi dunia pendidikan, terutama sekolah kejuruan. 

Kurikulum sebagai kesempatan belajar yang terencana dapat pula diartikan sebagai penyediaan lingkungan belajar di mana peserta didik dapat memahami seperangkat makna dari lingkungan tersebut. Karena itu, model kurikulum seperti ini dapat dianggap sebagai ‘kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran’ atau ‘kurikulum yang berpusat pada kompetensi’. 

Sementara itu, pandangan kurikulum sebagai mata pelajaran diikuti sampai hari ini, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun di perguruan tinggi. Karena itu kita masih ingat pada kurikulum 1984 SMU, di mana program kurikulumnya terdiri program inti dan program pilihan. Tiap program terdiri dari kelompok mata pelajaran. 

Jenis keempat adalah kurikulum sebagai pengalaman. Goodlad (dalam Saylor dkk, 1981), membedakan kurikulum formal (formal currculum) dengan kurikulum yang diterima peserta didik (experienced curriculum). Kesenjangan yang terlalu besar pada kedua jenis kurikulum ini sangat mempengaruhi kualitas lulusan. Kalau kesenjangannya besar, maka kualitasnya rendah, dan sebaliknya. Oleh karena itu, upaya pembinaan di lembaga pendidikan dilakukan untuk memperkecil kesenjangan ini. 

Muktiono Waspodo dengan merujuk pada tulisan Hilda Taba (1962) dalam bukunya "Curriculum Development Theory and Practice" mengartikan kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah. 

Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 Butir 9 UUSPN menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar. Rumusan tentang kurikulum ini mengandung makna bahwa kurikulum meliputi rencana, isi, dan bahan pelajaran dan cara penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. 

Berdasarkan pengertian di atas, kurikulum bukan hanya dokumen yang berisi tujuan dan garis besar program pengajaran. Namun, makna kurikulum akan berarti setelah diterjemahkan secara relevan dalam bentuk proses belajar mengajar sebagai bentuk operasional sistem kurikulum. Said Hamid Hasan (1992) mengemukakan bahwa suatu kurikulum bersifat fleksibel, yang mengandung dua posisi. Posisi pertama berhubungan dengan fleksibilitas sebagai suatu pemikiran kependidikan bagi pendidikan dan pelatihan. 

Pada posisi teoritik ini yang harus dikembangkan ialah kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya posisi pengembang ini karena adanya perubahan pada pemikiran kependidikan atau kepelatihan. Dalam pengertian sebagai kaidah pengembang kurikulum, fleksibilitas diartikan sebagai suatu sifat atau ciri kurikulum yang memberikan kesempatan untuk mengakomodasi adanya ide baru atau perbaikan terhadap ide yang sudah ada sebelumnya. Maksudnya, suatu dokumen kurikulum hendaknya memiliki sifat adaptabilitas yakni apabila terjadi perubahan terhadap suatu ide maka perubahan terhadap dokumen sejalan dengan magnitude perubahan ide tersebut. 

Hal ini tidak dapat dihindari karena masyarakat terus berkembang yang pada gilirannya tuntutan mereka pun terhadap apa yang diinginkan dari pendidikan berkembang pula. Kurikulum harus mampu berubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi, masyarakat, dan bangsa agar tidak menjadi usang. 


Munculnya definisi kurikulum yang sangat beragam dipengaruhi oleh keadaan saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian, menurut Yadi Mulyadi (2006), konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian, yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. 


Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu kurikulum dalam arti produk merupakan hasil konkret yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Akan tetapi, definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. 

Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodasi semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis. 


Kurikulum sebagai program merupakan kurikulum yang berbentuk programprogram pengajaran yang riil. Dalam bentuk yang ekstrim, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu, seperti dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakup aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu tertentu. 

Keuntungan pandangan ini terletak pada dua hal. Pertama, dapat menunjukkan dan menjelaskan secara lebih konkret tentang arti sebuah kurikulum. Kedua, memberikan pemahaman bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam latar (setting) dan jenjang yang berbeda. Sementara itu kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa. 


Sementara itu, pandangan kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap, dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar, dan sebagainya. 

Keuntungan dari cara pandang seperti ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata, yang secara “ritual” harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan cultural sekolah dan masyarakat, serta (2) penyusunan kurikulum menjadi lebih dapat dikelola (manageable), baik dari segi ruang lingkup maupun urutan. Adapun kelemahannya terletak pada adanya kesulitan para guru dan sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya. 


Pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar sangatlah berbeda dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah direncanakan. 

Konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan karena begitu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya, sebaik apa pun sebuah kurikulum bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa. Demikian pula sebaliknya. 


Keuntungan dari pemaknaan terakhir kurikulum tersebut setidaknya ada dua, yaitu: (1) pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, dan (2) guru akan lebih melibatkan semua pengalaman siswa dalam kegiatan pembelajaran. Kelemahannya ialah (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai konsekuensinya muncul terminology mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan kurikulum implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). 

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Berdasarkan rumusan tersebut dapat diturunkan beberapa ciri kurikulum yang antara lain sebagai berikut. 

a. Curriculum as a subject matter, yang menggambarkan kurikulum sebagai kombinasi bahan untuk membentuk kerangka isi materi (content) yang akan diajarkan. Dengan demikian, dalam pengertian ini isi atau materi merupakan salah satu dari komponen kurikulum. 

b. Curriculum as experience, yang menggambarkan kurikulum sebagai seperangkat pengalaman yang direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pedidikan. Pengertian kurikulum ini juga menggambarkan pengalaman sebagai kegiatan kurikulum. 

c. Curriculum as intention, yang menyatakan kurikulum sebagai suatu rencana, mulai dari tujuan, sasaran dan juga evaluasinya. Ini berarti kurikulum merupakan program yang terencana. 

d. Curiculum as cultural reproduction, yang menyiratkan kurikulum sebagai refleksi suatu budaya masyarakat tertentu. 

e. Curriculum as currere, yang menekankan kapasitas individu untuk berpartisipasi dan mengonsepkan kembali pengalaman hidup seseorang. Dalam pengertian ini, kurikulum merupakan perspektif pengalaman dan akibat terhadap kurikulum atau intepretasi terhadap pengalaman hidup. 

Sumber:

Lise Chamisijatin, dkk. (2008).Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjen Dikti-Depdikbud 
Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 
Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. 
Nasution.1995. Azas-azas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara 
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya