Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan

Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan. Inti sari pendidikan adalah interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang dalam pelaksanaannya bisa terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, atau di dalam masyarakat. Di dalam keluarga, interaksi yang terjadi antara orang tua sebagai pendidik dengan anak sebagai peserta didik. Interaksi terjadi bisa setiap saat, misalnya ketika orang tua bertemu anaknya di meja makan, saat menjelang tidur, atau berdialog, atau kegiatan lainnya. Semua itu berjalan secara alamiah tanpa perhitungan dan persiapan dengan tujuan dan target tertentu.

Pada umumnya pendidikan dalam keluarga berjalan secara alamiah, tanpa rencana sistematis yang dipersiapkan sebelumnya. Orang tua tidak mempunyai rencana khusus, tertulis, dan formal tentang pendidikan yang akan diberikan terhadap anaknya. Umumnya orangtua hanya memiliki harapan tentang apa yang diinginkan terhadap anaknya. Mereka menjadi pendidik karena statusnya sebagai orang tua. Karena kondisi dan sifat-sifat yang tidak formal, tidak adanya rancangan konkret, dan bahkan ada kalanya tidak disadari, pendidikan dalam lingkungan keluarga disebut pula sebagai pendidikan informal. Sebaliknya, pendidikan di lingkungan sekolah lebih terencana dan sistematis sehingga disebut pendidikan formal. Guru sebagai pendidik telah dipersiapkan secara formal nelalui lembaga pendidikan guru. Mereka dibekali dengan berbagai kompetensi seperti kompetensi: kepribadian, sosial, profesional, dan pedagogis yang memang sangat diperlukan oleh seorang guru. Di sekolah guru melaksanakan fungsi sebagai pendidik secara sadar dan terencana berdasarkan kurikulum yang telah disusun sebelumnya.

Dalam lingkungan masyarakat pun terjadi proses pendidikan dengan berbagai bentuk. Ada yang dilakukan secara formal seperti kursus atau pelatihan; dan ada pula yang tidak formal seperti ceramah-ceramah, sarasehan, atau pergaulan hidup seharihari. Gurunya juga bervariasi mulai dari yang berpendidikan formal guru sampai dengan mereka yang menjadi guru hanya karena pengalaman.

Dari perbandingan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal mempunyai beberapa karakteristik.Karakteristik pendidikan formal adalahsebagai berikut. Pertama, memiliki kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, pelaksana kegiatan pendidikan telah dipersiapkan secara formal sebagai pendidik yang telah dibekali dengan berbagai macam kompetensi. Ketiga, kegiatan pendidikan dilaksanakan secara formal, terencana, dan diakhiri dengan kegiatan penilaian untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Keempat, interaksi berlangsung dalam situasi dan lingkungan tertentu dengan dukungan berbagai fasilitas yang diperlukan.

Dengan demikian, dibandingkan dengan pendidikan informal dan nonformal, pendidikan formal memiliki sejumlah kelebihan. Dari segi isi, pendidikan formal memiliki cakupan yang lebih luas karena tidak hanya berkaitan dengan masalah pembinaan moral saja, tetapi juga ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dari segi fungsi, pendidikan formal memiliki peran untuk membantu keterbatasan pendidikan anak dalam memperseiapkan masa depan mereka. Dari sisi penyelenggaraan, pendidikan formal memiliki dasar, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil yang lebih terencana, sistematis, dan jelas.

Kurikulum dalam pendidikan formal menempati posisi yang sangat strategis karena tanpa kurikulum pendidikan akan kehilangan jati diri, serta arah dan tujuan yang hendak diraihnya. Kurikulum bukanlah kegiatan, melainkan sebagai program yang didesain, direncanakan, dikembangkan, dan dilaksanakan dalam suatu situasi belajar mengajar yang sengaja diciptakan di sekolah. Berkaitan dengan hal itu, kurikulum merupakan sesuatu yang dijadikan pedoman dalam segala kegiatan pendi-dikan yang dilakukan, termasuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Dengan demikian, kurikulum didefinisikan sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu.

Menurut Mac Donald (dalam Sukmadinata, 1997), sistem persekolahan terbentuk atas empat sub sistem, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru. Belajar (learnig) merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan siswa sebagai respon terhadap kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru. Keseluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan terjadinya interaksi belajar mengajar disebut pembelajaran (instruction). Dengan demikian, kurikulum merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Hilda Taba (dalam Sukmadinata, 1997) menyatakan bahwa perbedaan antara kurikulum dan pengajaran bukan terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum berkenaan dengan cakupan tujuan, isi, dan metode yang lebih luas atau lebih umum, sedangkan yang lebih sempit dan lebih khusus menjadi tugas pengajaran. Keduanya membentuk satu rentangan atau kontinum. Kurikulum terletak pada ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat. Perbedaan keduanya dapat digambar-kan sebagai berikut.

Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan seperti yang telah digambarkan di atas. Uraian tentang pengertian kurikulum di atas diakui dapat menimbulkan kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian tersebut memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan. Secara administrative kurikulum memang harus terekam secara tertulis. Oleh karena itu, kesan yang timbul tersebut memang ada benarnya .

Kurikulum dalam posisi sentralnya ini menunjukkan bahwa dalam setiap unit pendidikan, kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber, dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi; dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Jadi, kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan akuntabilitas akademik dan akuntabilitas legal. Oleh karena itu, jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan, maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum, maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian intrinsik kependidikan, kurikulum adalah jantung pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum.

Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan dalam kurikulum.

Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas, apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali, maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya, maka kurikulum tidak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan sebagaimana dianut oleh pandangan perenialisme atau esensialisme. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah sosial yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat.

Kurikulum menjadikan sekolah sebagai lembaga menara gading yang tidak terkait dan terjamah dengan keadaan masyarakat. Pemahaman seperti ini tidak dapat dipertahankan. Kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan, dan masalah kurikulum.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Pertama, kurikulum adalah konstruk atau sosok yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan, atau dikembangkan. Kedua, kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan. Ketiga, kurikulum merupakan alat untuk membangun kehidupan masa depan, yang menempatkan kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan rencana pengembangan dan pembangunan bangsa sebagai dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam bentuk tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan, dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun, maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut (pendidikan menengah dan tinggi) tidak selalu dapat diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu, kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa, tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam ruang lingkup mau pun jenjang kualitas. Oleh karena itu pula, kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs, baik dalam dimensi kualitas mau pun dalam jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pasal ini menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi, dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan tersebut dengan serius dan menjawabnya melalui penyesuaian diri dengan kualitas manusia yang diharapkan dapat dicapai pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2). Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan di antaranya: transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri; reformasi dari sistem pemerintahan sentralistis ke sistem pemerintahan desentralistis; serta pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan mampu mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan pada setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi belaka. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Pengalokasian waktu tersebut merupakan konstruk para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagalmenjawab keseluruhan spektrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat, yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu, dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global. Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan sosial yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum sebagai konstruk yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa.

Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini, kurikulum menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal yang harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia, maka hal itu harus tercermin dalam kurikulum. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya, maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah, maka tugas kurikulum ialah memberikan peluang kepada peserta didik guna mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi, maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru yang lebih efektif perlu dikembangkan, sesuai dengan kaidah pendidikan dan hasil kajian keilmuan, terutama kajian psikologi mengenai minat sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik, maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja.

Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti kejujuran, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya, terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.


Sumber:

Lise Chamisijatin, dkk. (2008).Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjen Dikti-Depdikbud

Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Nasution.1995. Azas-azas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Posting Komentar untuk "Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan"