PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MEMANFAATKAN KONFLIK KOGNISI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MEMANFAATKAN KONFLIK KOGNISI
Gregorius Sebo Bito
Pendahuluan
Sudah menjadi anggapan yang berlaku umum di masyarakat bahwa matematika merupakan salah satu bidang yang paling sulit untuk dipelajari. Untuk menghapus anggapan ini, proses pembelajaran matematika hendaknya dilaksanakan dan dikemas secara lebih menarik dan berkualitas. Pembelajaran matematika dikatakan berkualitas jika pembelajaran dapat memfasilitasi siswa untuk mengakuisisi konsep-konsep matematika secara bermakna (Suh, 2005:1). Siswa akan belajar matematika secara bermakna jika proses pembelajaran berhasil membawa mereka menghubungkan pengalaman atau pengetahuan informal dengan pengetahuan formal berupa konsep-konsep matematika yang abstrak.
Pengetahuan informal merupakan pengetahuan yang siswa peroleh dari melihat, mendengar, merasakan dan yang mereka alami dalam keseharian siswa. Ketika proses pembelajaran berhasil membawa siswa untuk dapat menciptakan makna dari pengetahuan matematika informal untuk membentuk matematika formal maka proses inilah yang disebut pembelajaran matematika yang bermakna.
Siswa adalah individu yang senantiasa berkembang baik fisik maupun kognisinya. Secara konseptual, perkembangan kognisi terus berjalan dalam seluruh level perkembangan pemikiran seseorang dari lahir hingga dewasa (Suparno, 1997:h.34). Ini berarti, setiap siswa pada level usia yang sama akan memiliki perkembangan yang relatif berbeda sehingga berimplikasi pada kematangan dan kemampuan kognisi yang bervariasi. Menurut Piaget, salah satu pengaruh utama pada perkembangan kognisi anak adalah apa yang diistilahkannya sebagai maturation (Muijs & Reynolds, 2008:h.23) yang merupakan perubahan biologis yang terbentang dimulai ketika seorang anak dilahirkan. Dalam rentang perkembangan atau perubahan biologis ini, pengalaman anak akan terus terakumulasi dan akan berkembang menjadi pengetahuan yang makin lengkap. Akumulasi pengetahuan menjadi pengetahuan yang makin lengkap akan terus terjadi jika anak aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Menurut Von Glasersfeld (Suparno, 1997:h.18), pemerolehan pengetahuan tidak menuruti serangkaian observasi yang sederhana (realitas) yang mereka peroleh lewat panca indera atau aktivitas fisik. Namun umumnya, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognisi kenyataan melalui kegiatan seseorang (Suparno, 1997:h.18).
Berdasarkan pendapat Glasersfeld dan Suparno di atas dapat dipahami bahwa pengalaman anak menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan untuk untuk kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas kognisi terutama dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Dalam setiap aktivitas kognisi tersebut, seseorang akan membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam Suparno, 1997:h.1). Pembelajaran matematika yang ideal adalah pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk berpikir dan hendaknya dirancang dengan senantiasa merujuk pada pengalaman pengalaman anak sebelumnya. Hal ini berarti pengalaman anak seharusnya dapat dijadikan peluang untuk memfasilitasi anak agar dapat belajar matematika secara bermakna. Dalam teori konstruktivisme, terdapat dua ahli yang cukup berpengaruh yaitu Piaget dan Vygotsky. Jean Piaget memusatkan perhatian pada aktivitas kognisi yaitu bagaimana seorang individu menggunakan berbagai gagasan secara reflektif untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5). Berbeda dengan gagasan Piaget, Vygotsky menekankan pada interaksi sosial sebagai komponen utama dalam pengembangan pengetahuan (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5).
Vygotsky yang meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis memaparkan adanya konsep yang bersifat ilmiah (scientific concept) dan konsep yang bersifat spontan (spontaneous concept) (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5; Suparno, 1997:h.45). Gagasan-gagasan telah diformulasikan dengan baik yang berasal dari luar diri siswa (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pengetahuan yang diperoleh di kelas (Fosnot dalam Suparno, 1997:h.45) dinamakan konsep ilmiah. Pemahaman yang dikembangkan oleh siswa sendiri (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pemahaman yang didapatkan anak dari pengalaman sehari-hari (Fosnot dalam Suparno, 1997:h.45) dinamakan konsep spontan.
Dalam pembelajaran di sekolah, konsep ilmiah diturunkan dari guru sehingga cenderung memaksakan cara berpikir guru pada siswa, sedangkan konsep spontan diperoleh sedikit demi sedikit sebagai hasil dari aktivitas aktivitas yang bersifat reflektif. Dalam ZPD (zona of proximal development), siswa dapat bekerja dengan konsep ilmiah dari luar. Dalam proses ini, pemahaman konseptual siswa akan cukup meningkat dimulai dengan mengambil berbagai gagasan yang ada sebelumnya. Konsep yang bersifat spontan dari siswa perlu dieksplorasi untuk menghasilkan konflik kognisi yang berguna bagi pemerolehan konsep matematika yang baru.
Konflik Kognisi
Konflik kognisi merupakan sebuah konsep yang penting dalam proses pemerolehan pengetahuan termasuk pemerolehan pengetahuan matematika. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari teori belajar konstruktivisme dimana salah satu prinsip dasarnya adalah bahwa siswa membangun pengetahuan secara mandiri dengan melakukan berbagai aktivitas lalu merefleksikan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya.
Haylock & Thangata (2007:p.23) menyatakan bahwa konflik kognisi dapat terjadi ketika siswa menghadapi ketidaksesuaian antara sebuah gagasan baru yang akan dipelajari dengan apa yang telah yang telah diketahui atau diprediksikan oleh siswa. Dengan kata lain, terjadinya konflik kognisi diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara hal baru yang ditemui dengan pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya. Pirie dan Kieran (1992) seperti yang dikutip oleh Haylock dan Thangata (2007:p.23) menjelaskan bahwa perkembangan pemahaman merupakan proses pengorganisasian kembali secara dinamis. Hal ini berarti, pemahaman tidak merupakan sesuatu yang tetap. Akan tetapi ketika individu membangun pemahaman baru sangat bergantung pada kesempurnaan menghubungkan konsep-konsep yang akan dipelajari dengan gagasan-gagasan yang telah mereka miliki. Siswa akan membangun pemahaman terhadap sebuah konsep melalui sebuah proses aktif menggunakan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dengan situasi belajar yang terus berubah dan proses refleksi.
Struktur struktur kognisi yang oleh Skemp (1993:p.139) disebut skema mental (mental schemas) merujuk pada jaringan dari gagasan-gagasan yang saling berhubungan. Menurut Skemp, skema memadukan pengetahuan yang telah ada dan tindakan-tindakan sebagai sarana untuk belajar di masa yang akan datang. Dalam istilah Piaget, struktur kognisi (skema mental) berubah melalui proses adaptasi yang melibatkan asimilasi dan akomodasi dimana tujuannnya adalah mencapai equilibrasi. Asimilasi terjadi ketika pengetahuan baru cocok dengan struktur kognisi (skema) yang telah ada dan terasimilasi kedalam skema siswa tersebut. Artinya, akomodasi terjadi ketika siswa dapat menyesuaikan skema atau struktur kognisi yang telah ada untuk menerima pengalaman atau pengetahuan baru.
Menurut Piaget, equilibrasi terjadi jika siswa puas karena ada kecocokan antara gagasan yang telah ada dan gagasan yang baru. Sebaliknya, ketika siswa menyadari adanya keterbatasan dalam pemahaman mereka, maka tahap ini disebut disequilibrasi. Pada tahap disequilibrasi inilah, para siswa berhadapan dengan konflik kognisi. Jika pemahaman terbaik dapat menggantikan pemahaman (skema) yang lama menggunakan rekonstruksi (istilah yang digunakan Skemp) atau akomodasi (istilah yang digunakan oleh Piaget) maka akan terjadi equilibrasi.
Pemanfaatan Konflik Kognisi Pada Pembelajaran Matematika
Di Sekolah Dasar dan SMP diajarkan tentang operasi pecahan. Banyak siswa yang kesulitan dalam melakukan operasi ini. Hal ini dapat terjadi, ternyata dapat diakibatkan oleh pengetahuan siswa tentang operasi bilangan cacah atau bilangan asli. Post, Behr & Lesh (Wheeldon, 2008:p.28) menemukan bahwa banyak siswa tidak dapat membedakan antara operasi bilangan cacah dan operasi bilangan pecahan. Hal ini menurut Liu, Lin & Li (2012) disebabkan karena sebelum belajar konsep pecahan dan operasinya, pada mereka telah terbentuk pengetahuan yang mapan tentang bilangan cacah (Sebo Bito & Sugiman, 2013:h.174).
Sebagai contoh, sering terjadi bahwa dalam menjumlahkan pecahan, siswa menjumlahkan pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya dan penyebutnya, misalnya sebagai berikut:
Kasus (1) dan (2) di atas dapat terjadi karena siswa telah memiliki gagasan spontan yaitu pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya tentang penjumlahan bilangan cacah yang telah mereka pelajari. Penyelesaian soal seperti kasus (1) dan (2) tidak perlu disalahkan tetapi perlu diasumsikan sebagai kontribusi penting untuk mengarahkan siswa pada gagasan ilmiah yaitu penyelesaian operasi pecahan yang benar. Oleh karena itu, pemanfaatan alat peraga dapat menjadi pilihan untuk menciptakan suatu keadaan dimana siswa menyadari kekeliruan terkait dengan hasil penjumlahan pecahan seperti hasil (1) dan (2). Dengan menggunakan alat peraga lingkaran pecahan (fraction circle), pada masalah penyelesaian operasi pecahan di atas dapat digambarkan seperti pada Gambar 2 .
Dengan menunjukkan Gambar 2 yang tampak seperti di atas, dapat memberikan atau menciptakan suatu konflik kognisi yang dapat menyadarkan siswa bahwa prosedur penjumlahan bilangan cacah yang telah mereka kenal ternyata sangat jauh berbeda dengan prosedur penjumlahan pecahan. Proses pembelajaran yang menggunakan alat peraga dapat membiasakan siswa untuk berpikir reflektif dengan membandingkan gagasan yang telah mereka miliki terkait dengan operasi bilangan cacah dengan pengetahuan baru yaitu operasi bilangan pecahan. Tentu saja, penciptaan konflik kognisi ini dilakukan melalui proses interaktivitas antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa.
Masalah lain dalam pembelajaran matematika adalah ketika siswa diminta untuk memisahkan sebuah himpunan bilangan yang diberikan kedalam himpunan-himpunan lain sesuai dengan aturan keanggotaannya. Misalnya siswa diinstruksikan untuk memisahkan bilangan-bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok bilangan. Harapan guru adalah bahwa proses berpikir siswa akan bermuara pada pembentukan dua kelompok bilangan dimana Kelompok I adalah kelompok bilangan kelipatan 3 dan Kelompok II adalah kelompok bilangan genap. seperti Gambar 3.
Untuk menyelesaikan soal seperti ini, beberapa bilangan seperti 6, 12 dan 18 perlu diperkenalkan sehingga siswa akan berhadapan dengan situasi dimana bilangan-bilangan tersebut dapat dimasukan kedalam dua himpuna sekaligus yaitu himpunan bilangan yang merupakan kelipatan 3 (Kelompok I) dan bilangan-bilangan juga tersebut termasuk himpunan bilangan genap (Kelompok II). Dengan cara memperkenalkan bilangan-bilangan seperti 6,12, dan 18 siswa akan menyadari bahwa bilangan-bilangan seperti 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 tidak dapat dimasukan dalam kedua kelompok yang diminta secara bersamaan, misalnya bilangan 15 tidak dapat dimasukan ke dalam kelompok I dan II secara bersamaan, tetapi 18 dapat masuk dalam kedua kelompok tersebut. Bilangan 15 merupakan kelipatan 3 dan bukan bilangan genap dan 18 adalah kelipatan 3 dan merupakan bilangan genap sehingga dapat masuk dalam kedua kelompok tersebut.Contoh ini menggambarkan sebuah konflik kognisi. Konflik kognisi ini dapat membantu siswa untuk memisahkan bilangan bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok yang diminta seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Simpulan dan Saran
Siswa selalu memiliki pengetahuan awal yang telah dimiliki ketika akan mempelajari pengetahuan baru. Oleh karenanya ketika guru akan memperkenalkan pengetahuan matematika yang baru, perlu dipikirkan materi sebelumnya yang diprediksi telah diketahui (pengetahuan awal) siswa. Setiap siswa memiliki pengetahuan awal dan kemampuan penalaran yang berbeda. Ini berarti kondisi kognisi setiap anak juga berbeda. Dalam pembelajaran matematika, sangat diperlukan interaktivitas yang memungkinkan siswa saling berbagi pengetahuan satu sama lain. Selain itu, pada proses interaktivitas, guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang tertuju pada konsep matematika yang akan dipelajari. Pada proses interaktivitas inilah akan memungkinkan terciptanya konflik kognisi.
Daftar Pustaka
Haylock, D & Thangata, F. (2007). Key Concepts in Teaching Primary Mathematics. London : Sage Publications
Muijs, D. & Reynolds, D. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. London: Sage Publications. Diterjemahkan oleh Soetjipto, H.P. & Soetjipto, S.M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah Dasar Kelas IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Jurnal Prima Edukasia, Vol 1-No.2, 2013.pp.173-183.
Skemp, R. (1993). The Psychology of Learning Mathematics. 2nd Edition. London: Penguin.
Suh, J.M. (2005).Third Graders’ Mathematics Achievement and Representation Preference Using Virtual and Physical Manipulatives for Adding Fractions and balancing Equations. Dissertation: George Mason University.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Van de Walle, J.A & Lovin, L.H. (2006) Teaching Student-Centered Mathematics Grade 3-5 (The Van de Walle Professional Mathematics Series Volume Two). New York : Pearson Education, Inc
Wheldon, D.A. (2008). Developing Mathematical Practices in A Social Context: An Instructional Sequence to Support Prospective Elementary Teachers’ Learning of Fractions. Disertasi: University of Central Florida. Tidak diterbitkan.
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor Tahun 2015
Sudah menjadi anggapan yang berlaku umum di masyarakat bahwa matematika merupakan salah satu bidang yang paling sulit untuk dipelajari. Untuk menghapus anggapan ini, proses pembelajaran matematika hendaknya dilaksanakan dan dikemas secara lebih menarik dan berkualitas. Pembelajaran matematika dikatakan berkualitas jika pembelajaran dapat memfasilitasi siswa untuk mengakuisisi konsep-konsep matematika secara bermakna (Suh, 2005:1). Siswa akan belajar matematika secara bermakna jika proses pembelajaran berhasil membawa mereka menghubungkan pengalaman atau pengetahuan informal dengan pengetahuan formal berupa konsep-konsep matematika yang abstrak.
Pengetahuan informal merupakan pengetahuan yang siswa peroleh dari melihat, mendengar, merasakan dan yang mereka alami dalam keseharian siswa. Ketika proses pembelajaran berhasil membawa siswa untuk dapat menciptakan makna dari pengetahuan matematika informal untuk membentuk matematika formal maka proses inilah yang disebut pembelajaran matematika yang bermakna.
Gambar 1
Gambar 1:ZPD adalah tempat dimana gagasan-gagasan baru yang diterima dari luar dengan mengunakan gagasan gagasan yang telah ada (Diadaptasi dari Van de Walle & Lovin, 2006,p.5).
Gambar 1:ZPD adalah tempat dimana gagasan-gagasan baru yang diterima dari luar dengan mengunakan gagasan gagasan yang telah ada (Diadaptasi dari Van de Walle & Lovin, 2006,p.5).
Siswa adalah individu yang senantiasa berkembang baik fisik maupun kognisinya. Secara konseptual, perkembangan kognisi terus berjalan dalam seluruh level perkembangan pemikiran seseorang dari lahir hingga dewasa (Suparno, 1997:h.34). Ini berarti, setiap siswa pada level usia yang sama akan memiliki perkembangan yang relatif berbeda sehingga berimplikasi pada kematangan dan kemampuan kognisi yang bervariasi. Menurut Piaget, salah satu pengaruh utama pada perkembangan kognisi anak adalah apa yang diistilahkannya sebagai maturation (Muijs & Reynolds, 2008:h.23) yang merupakan perubahan biologis yang terbentang dimulai ketika seorang anak dilahirkan. Dalam rentang perkembangan atau perubahan biologis ini, pengalaman anak akan terus terakumulasi dan akan berkembang menjadi pengetahuan yang makin lengkap. Akumulasi pengetahuan menjadi pengetahuan yang makin lengkap akan terus terjadi jika anak aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Menurut Von Glasersfeld (Suparno, 1997:h.18), pemerolehan pengetahuan tidak menuruti serangkaian observasi yang sederhana (realitas) yang mereka peroleh lewat panca indera atau aktivitas fisik. Namun umumnya, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognisi kenyataan melalui kegiatan seseorang (Suparno, 1997:h.18).
Berdasarkan pendapat Glasersfeld dan Suparno di atas dapat dipahami bahwa pengalaman anak menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan untuk untuk kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas kognisi terutama dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Dalam setiap aktivitas kognisi tersebut, seseorang akan membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam Suparno, 1997:h.1). Pembelajaran matematika yang ideal adalah pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk berpikir dan hendaknya dirancang dengan senantiasa merujuk pada pengalaman pengalaman anak sebelumnya. Hal ini berarti pengalaman anak seharusnya dapat dijadikan peluang untuk memfasilitasi anak agar dapat belajar matematika secara bermakna. Dalam teori konstruktivisme, terdapat dua ahli yang cukup berpengaruh yaitu Piaget dan Vygotsky. Jean Piaget memusatkan perhatian pada aktivitas kognisi yaitu bagaimana seorang individu menggunakan berbagai gagasan secara reflektif untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5). Berbeda dengan gagasan Piaget, Vygotsky menekankan pada interaksi sosial sebagai komponen utama dalam pengembangan pengetahuan (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5).
Vygotsky yang meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis memaparkan adanya konsep yang bersifat ilmiah (scientific concept) dan konsep yang bersifat spontan (spontaneous concept) (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5; Suparno, 1997:h.45). Gagasan-gagasan telah diformulasikan dengan baik yang berasal dari luar diri siswa (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pengetahuan yang diperoleh di kelas (Fosnot dalam Suparno, 1997:h.45) dinamakan konsep ilmiah. Pemahaman yang dikembangkan oleh siswa sendiri (Van de Walle & Lovin, 2006:p.5) atau pemahaman yang didapatkan anak dari pengalaman sehari-hari (Fosnot dalam Suparno, 1997:h.45) dinamakan konsep spontan.
Dalam pembelajaran di sekolah, konsep ilmiah diturunkan dari guru sehingga cenderung memaksakan cara berpikir guru pada siswa, sedangkan konsep spontan diperoleh sedikit demi sedikit sebagai hasil dari aktivitas aktivitas yang bersifat reflektif. Dalam ZPD (zona of proximal development), siswa dapat bekerja dengan konsep ilmiah dari luar. Dalam proses ini, pemahaman konseptual siswa akan cukup meningkat dimulai dengan mengambil berbagai gagasan yang ada sebelumnya. Konsep yang bersifat spontan dari siswa perlu dieksplorasi untuk menghasilkan konflik kognisi yang berguna bagi pemerolehan konsep matematika yang baru.
Konflik Kognisi
Konflik kognisi merupakan sebuah konsep yang penting dalam proses pemerolehan pengetahuan termasuk pemerolehan pengetahuan matematika. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari teori belajar konstruktivisme dimana salah satu prinsip dasarnya adalah bahwa siswa membangun pengetahuan secara mandiri dengan melakukan berbagai aktivitas lalu merefleksikan berbagai aktivitas yang telah dilakukannya.
Haylock & Thangata (2007:p.23) menyatakan bahwa konflik kognisi dapat terjadi ketika siswa menghadapi ketidaksesuaian antara sebuah gagasan baru yang akan dipelajari dengan apa yang telah yang telah diketahui atau diprediksikan oleh siswa. Dengan kata lain, terjadinya konflik kognisi diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara hal baru yang ditemui dengan pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya. Pirie dan Kieran (1992) seperti yang dikutip oleh Haylock dan Thangata (2007:p.23) menjelaskan bahwa perkembangan pemahaman merupakan proses pengorganisasian kembali secara dinamis. Hal ini berarti, pemahaman tidak merupakan sesuatu yang tetap. Akan tetapi ketika individu membangun pemahaman baru sangat bergantung pada kesempurnaan menghubungkan konsep-konsep yang akan dipelajari dengan gagasan-gagasan yang telah mereka miliki. Siswa akan membangun pemahaman terhadap sebuah konsep melalui sebuah proses aktif menggunakan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dengan situasi belajar yang terus berubah dan proses refleksi.
Struktur struktur kognisi yang oleh Skemp (1993:p.139) disebut skema mental (mental schemas) merujuk pada jaringan dari gagasan-gagasan yang saling berhubungan. Menurut Skemp, skema memadukan pengetahuan yang telah ada dan tindakan-tindakan sebagai sarana untuk belajar di masa yang akan datang. Dalam istilah Piaget, struktur kognisi (skema mental) berubah melalui proses adaptasi yang melibatkan asimilasi dan akomodasi dimana tujuannnya adalah mencapai equilibrasi. Asimilasi terjadi ketika pengetahuan baru cocok dengan struktur kognisi (skema) yang telah ada dan terasimilasi kedalam skema siswa tersebut. Artinya, akomodasi terjadi ketika siswa dapat menyesuaikan skema atau struktur kognisi yang telah ada untuk menerima pengalaman atau pengetahuan baru.
Menurut Piaget, equilibrasi terjadi jika siswa puas karena ada kecocokan antara gagasan yang telah ada dan gagasan yang baru. Sebaliknya, ketika siswa menyadari adanya keterbatasan dalam pemahaman mereka, maka tahap ini disebut disequilibrasi. Pada tahap disequilibrasi inilah, para siswa berhadapan dengan konflik kognisi. Jika pemahaman terbaik dapat menggantikan pemahaman (skema) yang lama menggunakan rekonstruksi (istilah yang digunakan Skemp) atau akomodasi (istilah yang digunakan oleh Piaget) maka akan terjadi equilibrasi.
Pemanfaatan Konflik Kognisi Pada Pembelajaran Matematika
Di Sekolah Dasar dan SMP diajarkan tentang operasi pecahan. Banyak siswa yang kesulitan dalam melakukan operasi ini. Hal ini dapat terjadi, ternyata dapat diakibatkan oleh pengetahuan siswa tentang operasi bilangan cacah atau bilangan asli. Post, Behr & Lesh (Wheeldon, 2008:p.28) menemukan bahwa banyak siswa tidak dapat membedakan antara operasi bilangan cacah dan operasi bilangan pecahan. Hal ini menurut Liu, Lin & Li (2012) disebabkan karena sebelum belajar konsep pecahan dan operasinya, pada mereka telah terbentuk pengetahuan yang mapan tentang bilangan cacah (Sebo Bito & Sugiman, 2013:h.174).
Sebagai contoh, sering terjadi bahwa dalam menjumlahkan pecahan, siswa menjumlahkan pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya dan penyebutnya, misalnya sebagai berikut:
Kasus (1) dan (2) di atas dapat terjadi karena siswa telah memiliki gagasan spontan yaitu pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya tentang penjumlahan bilangan cacah yang telah mereka pelajari. Penyelesaian soal seperti kasus (1) dan (2) tidak perlu disalahkan tetapi perlu diasumsikan sebagai kontribusi penting untuk mengarahkan siswa pada gagasan ilmiah yaitu penyelesaian operasi pecahan yang benar. Oleh karena itu, pemanfaatan alat peraga dapat menjadi pilihan untuk menciptakan suatu keadaan dimana siswa menyadari kekeliruan terkait dengan hasil penjumlahan pecahan seperti hasil (1) dan (2). Dengan menggunakan alat peraga lingkaran pecahan (fraction circle), pada masalah penyelesaian operasi pecahan di atas dapat digambarkan seperti pada Gambar 2 .
Gambar 2
Gambar 3
Dengan menunjukkan Gambar 2 yang tampak seperti di atas, dapat memberikan atau menciptakan suatu konflik kognisi yang dapat menyadarkan siswa bahwa prosedur penjumlahan bilangan cacah yang telah mereka kenal ternyata sangat jauh berbeda dengan prosedur penjumlahan pecahan. Proses pembelajaran yang menggunakan alat peraga dapat membiasakan siswa untuk berpikir reflektif dengan membandingkan gagasan yang telah mereka miliki terkait dengan operasi bilangan cacah dengan pengetahuan baru yaitu operasi bilangan pecahan. Tentu saja, penciptaan konflik kognisi ini dilakukan melalui proses interaktivitas antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa.
Masalah lain dalam pembelajaran matematika adalah ketika siswa diminta untuk memisahkan sebuah himpunan bilangan yang diberikan kedalam himpunan-himpunan lain sesuai dengan aturan keanggotaannya. Misalnya siswa diinstruksikan untuk memisahkan bilangan-bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok bilangan. Harapan guru adalah bahwa proses berpikir siswa akan bermuara pada pembentukan dua kelompok bilangan dimana Kelompok I adalah kelompok bilangan kelipatan 3 dan Kelompok II adalah kelompok bilangan genap. seperti Gambar 3.
Untuk menyelesaikan soal seperti ini, beberapa bilangan seperti 6, 12 dan 18 perlu diperkenalkan sehingga siswa akan berhadapan dengan situasi dimana bilangan-bilangan tersebut dapat dimasukan kedalam dua himpuna sekaligus yaitu himpunan bilangan yang merupakan kelipatan 3 (Kelompok I) dan bilangan-bilangan juga tersebut termasuk himpunan bilangan genap (Kelompok II). Dengan cara memperkenalkan bilangan-bilangan seperti 6,12, dan 18 siswa akan menyadari bahwa bilangan-bilangan seperti 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 tidak dapat dimasukan dalam kedua kelompok yang diminta secara bersamaan, misalnya bilangan 15 tidak dapat dimasukan ke dalam kelompok I dan II secara bersamaan, tetapi 18 dapat masuk dalam kedua kelompok tersebut. Bilangan 15 merupakan kelipatan 3 dan bukan bilangan genap dan 18 adalah kelipatan 3 dan merupakan bilangan genap sehingga dapat masuk dalam kedua kelompok tersebut.Contoh ini menggambarkan sebuah konflik kognisi. Konflik kognisi ini dapat membantu siswa untuk memisahkan bilangan bilangan: 2, 3, 4, 8, 9, 10, 15, 20, 21 ke dalam dua kelompok yang diminta seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Simpulan dan Saran
Siswa selalu memiliki pengetahuan awal yang telah dimiliki ketika akan mempelajari pengetahuan baru. Oleh karenanya ketika guru akan memperkenalkan pengetahuan matematika yang baru, perlu dipikirkan materi sebelumnya yang diprediksi telah diketahui (pengetahuan awal) siswa. Setiap siswa memiliki pengetahuan awal dan kemampuan penalaran yang berbeda. Ini berarti kondisi kognisi setiap anak juga berbeda. Dalam pembelajaran matematika, sangat diperlukan interaktivitas yang memungkinkan siswa saling berbagi pengetahuan satu sama lain. Selain itu, pada proses interaktivitas, guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang tertuju pada konsep matematika yang akan dipelajari. Pada proses interaktivitas inilah akan memungkinkan terciptanya konflik kognisi.
Daftar Pustaka
Haylock, D & Thangata, F. (2007). Key Concepts in Teaching Primary Mathematics. London : Sage Publications
Muijs, D. & Reynolds, D. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. London: Sage Publications. Diterjemahkan oleh Soetjipto, H.P. & Soetjipto, S.M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah Dasar Kelas IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Jurnal Prima Edukasia, Vol 1-No.2, 2013.pp.173-183.
Skemp, R. (1993). The Psychology of Learning Mathematics. 2nd Edition. London: Penguin.
Suh, J.M. (2005).Third Graders’ Mathematics Achievement and Representation Preference Using Virtual and Physical Manipulatives for Adding Fractions and balancing Equations. Dissertation: George Mason University.
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Van de Walle, J.A & Lovin, L.H. (2006) Teaching Student-Centered Mathematics Grade 3-5 (The Van de Walle Professional Mathematics Series Volume Two). New York : Pearson Education, Inc
Wheldon, D.A. (2008). Developing Mathematical Practices in A Social Context: An Instructional Sequence to Support Prospective Elementary Teachers’ Learning of Fractions. Disertasi: University of Central Florida. Tidak diterbitkan.
Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor Tahun 2015
Posting Komentar untuk "PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MEMANFAATKAN KONFLIK KOGNISI"
Pembaca boleh bebas berkomentar selama isi komentar berhubungan dengan isi postingan, menggunakan kalimat yang santun dan berguna bagi pengembangan blog ini.