Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori belajar Respondent Conditioning

Teori belajar Respondent Conditioning-Teori belajar Respondent Conditioning (pengkondisian respon) diperkenalkan oleh Pavlov. Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang dapat diamati dan diramalkan (Guy R. Lefrancois (1985)) sehingga mempengaruhi individu dan membawanya ke arah perilaku (respon) yang diharapkan. Teori ini merupakan teori behaviorisme.

Pavlov (1849-1936) mengkaji stimuli (rangsangan tak bersyarat) yang secara spontan memanggil respon. Stimuli di lingkungan misalnya sorotan lampu memancing respon refleks. Respon, berupa refleks yang terpancing stimuli, disebut responden. Responden (respon tak bersyarat) muncul di luar kendali kemauan bebas seseorang. Hubungan rangsangan bersyarat dengan respon itu spontan, bukan hasil belajar. Namun perilaku refleks dapat muncul sebagai respon atas stimuli yang sebenarnya tidak otomatis memancing respon. Melalui conditioning, stimuli netral (netral spontan) memancing refleks namun sengaja dibuat agar mampu memancing respon refleks. Bila satu stimuli menghasilkan respon, maka stimuli kedua yang tidak relevan dihadirkan serempak dengan stimuli pertama, dan akhirnya respon tadi muncul tanpa perlu menghadirkan stimuli pertama.

Contohnya adalah, apabila lampu disorotkan ke mata, pupil mata menyempit. Jika lonceng dibunyikan tiap kali lampu disorotkan ke mata, bunyi lonceng saja membuat pupil mata menyempit. Pebelajar terkondisi oleh bunyi lonceng. Pengkondisian melemah kemudian sirna, jika secara berulang individu mendengar lonceng tanpa sorotan lampu. Setelah stimuli netral (bunyi lonceng berulang-ulang) dipasangkan pada stimuli efektif (sorot lampu), maka stimuli netral akan membuahkan respon yang sama dengan yang dimunculkan oleh stimuli efektif. Implikasi kependidikan dari teori belajar respondent conditioning ini dibuktikan lewat penelitian C. Joan Early (1968) dimana peserta didik kelas 4 SD disurvei dengan menggunakan sosiometri. Survei ini bermaksud mengidentifikasi peserta didik yang terasing dalam pergaulannya di kelas. Berdasarkan sosiogram, peserta didik yang terisolir diperlakukan sebagai kelompok eksperimen, sedangkan peserta didik yang tidak terisolir diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok peserta didik diberi tugas mempelajari sejumlah kalimat yang bernada positif dan kalimat yang bernada netral. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta bermain secara bebas dengan tugas memasangkan nama dirinya dengan kalimat tertentu. Kelompok eksperimen (peserta didik yang terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada positif seperti teman yang sangat menyenangkan” atau “teman yang periang”. Sedangkan kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada netral seperti “teman yang biasa saja” atau “teman yang tidak istimewa”.

Selama permainan guru melakukan pengamatan perilaku peserta didik pada situasi bermain bebas tersebut. Hasil analisis data pengamatan menunjukkan ada kecenderungan peserta didik lebih mendekati peserta didik terisolir di kelompok eksperimental dibandingkan dengan kelompok kontrol. Setelah permainan selesai dilakukan lagi pengukuran sosiometri, dan sosiogramnya menunjukkan bahwa peserta didik kelompok eksperimental (peserta didik yang terisolir) lebih diterima atau disukai oleh temannya daripada peserta didik kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir). Hal ini berarti, peserta didik di kelompok eksperimen tidak lagi terisolir dari temannya setelah dikondisikan melalui permainan bebas tersebut. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa peserta didik belajar tentang sikap positif dan prasangka buruk. Proses belajar tentang prasangka buruk lewat kegiatan mengasosiasikan kualitas pribadi negatif pada kelompok sebaya, tetapi mereka juga belajar membentuk sikap positif dan kooperatif lewat bermain bersama seraya mengasosiasikan kualitas pribadi perseorangan dan kelompok. 

Contoh lain penerapan teori belajar respondent conditioning adalah yang dilakukan pula oleh J. Wolpe (1958) untuk menangani reaksi cemas melalui kegiatan penurunan kepekaan secara sistematis (systematic disensitization). Stimuli di lingkungan yang memicu reaksi cemas, diubah lewat kegiatan mengkondisikan respon pengganti rangsangan yang tidak selaras dengan respon cemas. Prosedur ini menggunakan respon relaksasi otot. Isyarat pemicu cemas dipasangkan dengan respon relaksasi. Individu diminta bersikap relaks dan membayangkan pemandangan berisyarat pemicu cemas ringan. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pada waktu bersantai, cemas ringan dihambat oleh sikap santai itu. Secara bertahap, seraya bersantai dipasangkan isyarat pencetus cemas ringan, isyarat pemicu cemas makin dinaikkan kadarnya, dibayangkan tanpa ada respon sama sekali atau ada respon tetapi kecil saja. Relaksasi berasosiasi dengan hirarki pemandangan yang dibayangkan. Akhirnya kemampuan stimuli membangkitkan kecemasan menjadi lenyap. Pengubahan perilaku respondent conditioning seperti dicontohkan di atas, dapat pula digunakan untuk membantu peserta didik yang mengalami masalah suka makan berlebihan, peminum miras atau penyimpangan perilaku sek*ual.

Posting Komentar untuk "Teori belajar Respondent Conditioning"