Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Tulisan Alm. Prof. Stephanus Djawanai, pada Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 17 Oktober 2015 .      

PENGANTAR

Makalah ini menyoroti butir pendidikan sebagai proses pembudayaan, budaya sebagai kumpulan nilai yang bermanfaat bagi adaptasi manusia untuk bertahan hidup dan karakter bangsa sebagai ciri dasar kebangsaan. Bagi Universitas Flores topik ini penting karena menempatkan budaya pada pusat pembentukan karakter bangsa, yang sejalan dengan visi universitas Flores yang ingin membangun institusi sebagai mediator budaya.

Ilustrasi. Dalam pembuangan atau pengasingan di Ende antara tahun 1934-1938 Bung Karno berinteraksi akrab dengan masyarakat lokal, terutama para misionaris katolik berkebangsaan Belanda dan asing lain, dan masyarakat akar rumput yang beliau jumpai di kota Ende. Kelompok akar rumput yang sangat mengesankan adalah para nelayan, buruh pelabuhan dan pedagang di pasar, penduduk Ende dari berbagai latar belakang etnik.

Untuk mengisi waktu dan meneruskan cita-cita membangun masyarakat baru, Bung Karno mendirikan kelompok tonil atau sandiwara, Kelimoetoe Toneel Club, yang terdiri dari orang lokal itu. Bung Karno menulis teks tonilnya kemudian melatih orang yang berminat ikut main dan menonton dengan mendiktekan ceitera yang dilukiskan di dalam tonil-tonil yang beliau tulis. Tercatat ada 12 teks tonil yang kemungkinan sebahagian disimpan oleh para ahli waris Bung Karno. Setelah latihan dianggap cukup, Bung Karno mementaskan tonil itu di gedung Immaculata milik paroki katolik Katedral Ende.

Salah satu teks tonil yang menarik perhatian penulis adalah tonil berjudul Dokter Syaitan. Dikisahkan ada seorang dokter yang mengumpulkan potongan-potongan mayat yang disambungkannya sampai membentuk satu jenasah agak utuh. Kemudian sang dokter memberinya strom listrik dan jenasah itu pun hidup, tetapi membahayakan masyarakat karena membunuh dan dengan demikian makhluk itu dikepung dan ditembak oleh polisi.

Kisah itu bagi penulis melambangkan apa yang ada di benak Bung Karno, yaitu cita-cita untuk mempersatukan potongan-potongan tanah jajahan Belanda yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama menjadi suatu negeri yang beliau bayangkan seperti yang dicanangkan pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Potongan-potongan mayat yang disambung-sambungkan oleh Dokter Syaitan itu tampak “hidup” tetapi tanpa roh, yaitu budaya yang mengikat dan menjadi ciri suatu bangsa bersatu. Menurut pendapat penulis hal itulah antara lain yang mendorong Bung Karno untuk “membentuk” sebagai konsep, butir-butir mutiara yang kemudian dirangkaikan sebagai Pancasila. Isi penting pancasila menurut Bung Karno adalah kebangsaan Indonesia untuk semua suku bangsa dan golongan, internasionalisme atau peri-kemanusiaan yang mengatasi semua perbedaan antara bangsa-bangsa, mufakat atau demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yaitu wakil-wakil dari semua kelompok etnik, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Bung Karno juga menyatakan bahwa ke-lima sila dalam Pancasila dapat diperas menjadi satu prinsip, yaitu gotong-royong. Butir-butir itu adalah dasar karakter bangsa Indonesia. Selain itu, dalam konsep “trisakti Bung Karno mencanangkan perlunya kepribadian berbudaya.

PENDIDKAN

Pendidikan adalah proses pembudayaan dalam semua aspeknya. Proses itu mencakup keutamaan budi, kearifan, pijakan pola pikir, tindak, tutur, dan sikap. Hal yang dapat menimbulkan keprihatinan adalah penonjolan pembangunan manusia pada aspek ekonomi, yaitu asas manfaat dan kesejahteraan dan orang lalai pada aspek etika dan moral.

Budaya adalah endapan pengetahuan, kekayaan intelektual, hasil karya luhur nenek-moyang. Kebudayaan adalah nilai, gagasan, peri laku, artefak, dalam perspektif sejarah. Manusia memiliki perspektif nilai yang sangat beragam yang dipandu oleh kebebasan dan kemampuan untuk mencapai sesuatu dan kebebasan bertindak.

Manusia adalah makhluk yang amat unik karena memiliki kemampuan bawaan untuk bereplikasi secara genetis sehingga menghasilkan keturunan; dan manusia juga mereplikasi hasil karya mentalnya secara kultural, memetik, dengan menghasilkan artefak dalam bentuk bahasa, sastra, agama, seni dan budaya (Wijayanto, 2013).

Ancangan pendidikan yang penulis bayangkan adalah memulai dengan mengasihi peserta didik secara tulus yakni sebagai pribadi yang perlu dibimbing; menanamkan disiplin secara ketat agar tertanam rasa tertib diri yang tinggi pada peserta didik; melatih peserta didik agar memperoleh ketrampilan yang dibutuhkan dalam suatu bidang kehidupan tertentu; mengajar dengan baik agar peserta didik memperoleh pengetahuan yang bermanfaat bagi hidupnya; dan mendidik agar peserta didik memiliki sikap yang santun dan beradab yang mencirikan kepribadian atau karakternya. Ancangan ini dipandu oleh pandangan dasar bahwa perserta didik hanya dapat berhasil dalam pendidikan bila didampingi dan dibimbing oleh guru yang baik.

Pendidikan Watak (karakter) mencakup: penanaman nilai kejujuran, tanggung jawab, keadilan, spiritualitas, toleransi (menerima perbedaan), kerja keras, ketekunan, kesabaran, kemandirian, penumbuhan kepercayaan (trust), kepedulian pada orang lain (empati), kesetia kawanan (solidaritas).

Tujuan Pendidikan adalah agar peserta didik mampu memahami dan menjalani kehidupan; kelak menghidupi dirinya sendiri; hidup secara bermakna; dan ikut memuliakan kehidupan melalui olah pikir (manah), olah hati (rasa), olah raga, olah karsa.

Berikut adalah konsep pendidikan kepribadian dari cuplikan pidato pendeta dan pemimpin gerakan hak-hak sipil Amerika, pemenang Hadiah Nobel (1964), Martin Luther King, Jr di Washington, DC, 28 Agust. 1963 yang berjudul I Have A Dream.

Aku mempunyai sebuah mimpi bahwa suatu hari kelak, anak-anakku tidak akan dinilai berdasarkan warna kulit mereka, melainkan berdasarkan isi dari kepribadiannya. (“I have a dream that one day my children will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character”.)

Pendidikan tradisional yang membentuk karakter pastilah berhubungan dengan konteks lingkungan alam, sosial, spiritual yang ada. Proses pendidikan terutama melalui pengenalan dan peniruan, dan pengikutsertaan. Dan semuanya ada teks ceritera dan dongeng lisan serta lagu yang dilantunkan untuk anak-anak atau untuk menghilangkan rasa lelah. Pendidikan tradisional itu seluruhnya dilakukan dengan mengamati, meniru, dan mendengar naratif. Karakter ditempa melalui ceritera dan mengikutsertakan anak dalam aktivitas berkarya.


BUDAYA

Budaya dibentuk dari nilai-nilai kehidupan yang dipandang baik dan telah diuji dalam perjalanan sejarah masyarakat penutur suatu bahasa atau suatu bangsa. Suatu bangsa itu bukanlah identitas yang sudah jadi, melainkan proses yang dijalani dalam membentuk suatu jati diri kolektif.

Nilai selalu adalah hal-hal terbaik yang menuntun cara berpikir, bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkungan: sosial, alam, dan kejiwaan agar manusia dapat beradaptasi, menyesuaikan diri dengan keadaan dan perubahan demi bertahan hidup pada konteks suatu masa dan tempat tertentu. Kita kenal bahwa pikiran manusia membentuk sikap, sikap mengarahkan tingkah laku, tingkah laku membentuk kebiasaan, dan kebiasaan diendapkan menjadi kebudayaan.

Di dalam diri manusia terdapat potensi untuk berkembangnya nilai baik dan buruk, hal benar dan salah. Nilai baik dan hal benar pembentuk kebudayaan harus dipupuk, dipelihara, dikembangkan. Sebagai ilustrasi berikut dikutip kisah yang memuat kearifan salah satu suku asli Amerika, bangsa Cherokee (Amerika bagian timur).

Seorang kakek Cherokee berkisah kepada cucu laki-lakinya: “ Di dalam diri kamu ada dua ekor serigala: serigala baik dan serigala jahat. Kedua serigala itu terus-menerus bertarung seumur hidupmu.” Si cucu pun bertanya: “Lalu pada akhirnya yang mana yang menang?” Sang kakek yang bijak menjawab, “Yang kamu beri makan.” (A story by a Cherokee American Indian old man to his grand-son: “You have two wolves in you: a good wolf and a bad wolf who fight all the time, all your life”. The grandson asked, “Which of the wolves wins in the end?” The old wise man said,”The one you feed.”)

Pendidikan adalah upaya untuk meneruskan dan melanggengkan kebudayaan.

Kebudayaan adalah upaya untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan semua pengetahuan yang telah dihimpun dari masa lampau, dan menemukan jawaban atas pertanyaan dan persoalan yang dihadapi manusia.

BAHASA

Budaya berhubungan erat dengan bahasa. Hubungannya ibarat dua sisi dari sekeping uang logam. Budaya mendorong bahasa berkembang, bahasa mengungkapkan budaya. Bahasa mengacu realita budaya melalui pengungkapan nilai, gagasan, sikap, perspektif, dan pandangan dunia. Bahasa adalah pembentuk jati diri dari suatu model budaya. Manusia lahir dan terbelenggu oleh kebudayaannya, tetapi manusia dapat membentuk jati diri yang membebaskannya dari belenggu budaya. Manusia mampu mengesampingkan naluri dan menggantikannya dengan kebudayaan sebagai pemandu hidupnya.

Manusia mengungkapkan eksistensi dan daya pikir kreatifnyanya melalui tiga jenis suara. Pertama, indera atau “suara tubuh” yang diatur oleh naluri. Suara itu adalah suara nirsadar yang juga dimiliki oleh hewan. Naluri itu tidak dipelajari dan tidak dapat dikembangkan. Kedua, nalar atau rasio yang adalah “suara manah” (mind). Melalui nalar manusia berpikir, merenung dan mengambil keputusan dan bertindak. Melalui nalar manusia mengembangkan keintelektualan dan daya pikir kreatifnya. Ketiga, nurani yang adalah “suara roh”, spiritualitas. Ia adalah bagian dari perangkat kejiwaan manusia yang menjembatani rasio dan dorongan diri pribadi dan cita-cita sosial (Wirzbicka).

Bahasa adalah teknologi untuk mengemas, menyimpan dan menyebarluaskan pengetahuan dan pengalaman manusia. Manusia juga mengenal dan mengembangkan teknologi-teknologi yang lain untuk membuat hidupnya nyaman. Tetapi harus diingat bahwa teknologi dapat menjadi pedang bermata dua; ia memudahkan kehidupan, tetapi juga menggerus sendi adat budaya karena mengabaikan tatanan moral dan etika.

Sebagai ilustrasi pentingnya konsep tentang bahasa berikut dikutip jawaban Konfusius (filsuf Tiongkok), ketika ditanya apa yang harus dilakukan oleh seorang penguasa. Menurut Konfusius hal utama yang harus dilakukan adalah membereskan bahasa. Jika apa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka hal-hal yang seharusnya dilakukan tidak bakal dilakukan. Jika terus begitu, moral dan seni memburuk, keadilan akan sesat. Jika keadilan sesat, rakyat bingung tak berdaya. Karena itu, tak boleh ada kesewenang-wenangan dalam bahasa tutur. Ini berlaku dalam semua urusan. Selain itu, Gregory Bateson (1972) mengatakan bahwa, kata-kata adalah sesuatu yang berbahaya. Kata-kata itu bertuah dan memiliki kekuasaan dan kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan kekerasan yang mungkin membawa akibat yang menyakitkan atau meninggalkan derita.

PENUTUP

Karakter yang ingin kita bentuk mengacu pada dasar falsafah Negara yang dicetuskan oleh Bung Karno. Hal yang amat menonjol ialah masalah kerja sama, gotong royong, kesetiakawanan dalam bentuk kepedulian dengan sesama, persatuan yang mengedepankan kesetaraan dalam konsep multikulturalisme. Hal lain yang patut digarisbawahi adalah kejujuran, kerja keras, dan disiplin.

Tentang karakter manusia dan budaya Flores saya suka memusatkan perhatian pada konsep rumah adat, kalender tradisional, tenun ikat, organisasi pemukiman yang mencerminkan skemata budaya, alam, tarian adat, dan upacara.

Pendidikan dasar di Flores melalui sekolah-sekolah katolik rata-rata sudah berusia 100 tahun. Pendidikan dibangun oleh para misionaris Katolik dan zending Protestan yang datang dari Eropah, kemudian masuk pendidik Islam.

Berikut catatan tentang tenun ikat: mulai zaman perunggu (zaman perunggu Asia diduga mulai 1200 tahun Sebelum Masehi) juga adalah sarana pembentukan karakter, terutama wanita dalam masyarakat tradisional (terdapat patung tenun ikat dari perunggu yang disimpan di museum Australia. Namun diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengungkapkan sejarah penemuan dan pembuatan patung ibu penenun dan anaknya).

Sebagai penutup saya kutip pendapat Dalai Lama (pemimpin Tibet) tentang sosok manusia yang dibutuhkan. Menurutnya planet bumi tidak memerlukan lebih banyak orang yang berhasil. Planet kita sangat membutuhkan lebih banyak juru damai, penyembuh, pemulih, pendongeng, dan berbagai jenis pencinta; itulah gambaran karakter yang kita dambakan.

DAFTAR PUSTAKA

Bateson, Gregory. 1972. Steps to an Ecology of Mind. New York: …
Endraswara, Suwardi. 2013. Pendidikan Karakter Dalam Folklor. Yogyakarta: Pustaka Rumah Suluh
Fudyartanta, K. 2010. Membangun Kepribadian Dan Watak Bangsa Indonesia Yang Harmonis Dan Integral. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hawkins Jeff dan Sandra Blakeslee. 2004. On Intelligence. New York: Levine Greenberg Literary Agency. (Pengalih bahasa: Annisa Rahmalia)
Koesoema, Doni A. 2009. Pendidik Karakter. Jakarta: Grasindo
Laksono, P.M. 2009.Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: Kepel Press (Pusat Studi Asia-Pasifik UGM)
Palmer, Joy A. Palmer (ed.). 2010. 50 Pemikir paling berpengaruh terhadap Dunia Pendidikan Moderen (Terjemahan).Yogyakarta: Laksana
Wijayanto, Eko. 2013. Memetics: Perspektif Evolusionis Membaca Kebudayaan. Depok: Penerbit Kepik.
Zuchdi, Darmiyati. (editor). 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNYPress

Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA"