Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI PESERTA DIDIK UNTUK MEMBANGUN GENERASI YANG BERKARAKTER

PERAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI PESERTA DIDIK UNTUK MEMBANGUN GENERASI YANG BERKARAKTER

Tulisan Prof. Achmad Dardiri Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 17 Oktober 2015                                                                                      

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah masalah yang menyangkut diri kita sebagai manusia. Kata Montaigne (Cassirer, 1990: 3) “La plus grand chose du monde c’est de savoir etre a soy” (“soal paling besar di seluruh dunia ialah mengenali diri sendiri”). Maksudnya adalah mengenali diri sendiri sebagai manusia. Mengenali diri kita sebagai manusia sangat penting dalam pendidikan karena pendidiknya manusia, dan peserta didiknya juga manusia. Pendidik yang baik harus mampu mengenali dirinya sebagai caregivers, model dan sebagai mentor (Lickona, 1991: 72), tentu masih banyak peran pendidik yang lainnya, sehingga tindakannya selalu dikontrol oleh posisi dirinya itu. Pendidik yang baik juga harus mengenali potensi peserta didiknya dengan baik, sehingga bantuan pendidik terhadap peserta didiknya lebih terararh dan bermanfaat bagi pengembangan potensi perta didiknya. Bila kita mengkaji filsafat manusia kita memperoleh informasi yang sangat bermanfaat tentang hakekat manusia yang memiliki banyak unsur potensial di dalam dirinya. Seluruh potensi positif manusia ini membutuhkan aktualisasi dan pengembangan agar dapat berkembang secara optimal. Di sinilah perlu dan pentingnya pendidikan, karena pendidikan memiliki fungsi utama untuk mengembangkan potensi kemanusiaan pada taraf yang lebih sempurna.

Tetapi benarkah pendidikan telah membawa peserta didiknya mampu mengembangkan seluruh potensi positif peserta didiknya ke arah yang lebih baik, lebih sempurna, lebih manusiawi dan lebih berbudaya? Dengan kata lain, apakah pendidikan kita sudah mampu membudayakan dan memanusiakan peserta didik? Sudah tentu jawaban yang memuaskan terhadap pertayaan ini memerlukan kajian yang seksama dan menyeluruh. Namun, fenomena yang menucul di mana-mana saat ini adalah menurunnya rasa hormat anak terhadap orang tuanya, menurunnya rasa hormat peserta didik terhadap guru-gurunya. Di masyarakat kita temukan banyak terjadi kerusuhan, pelecehan terhadap orang lain, kekerasan bahkan pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang lainnya. Yang kita saksikan bukan perilaku berbudaya dan manusiawi, tetapi perilaku yang kurang bahkan tidak beradab dan tidak manusiawi.

Mengingat pendidikan itu untuk manusia, maka sebelum berbicara tentang pendidikan, diperlukan pemahaman yang relatif utuh tentang hakekat manusia, apa dan siapa manusia itu? Jawaban tentang persoalan hakekat manusia dapat kita peroleh dari filsafat manusia. Dari kajian filsafat manusia dapat diketahui seluruh potensi kemanusiaannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana potensi itu dapat berkembang dan dikembangkan? Dalam hal ini kita membutuhkan pendidikan, karena dengan dan melalui pendidikan seluruh potensi manusia dapat berkembang dan dikembangkan. Apa pendidikan itu dan apa fungsi pendidikan itu? Pertanyaan ini kita peroleh jawabannya dalam filsafat pendidikan. Dari uraian ini menunjukkan bahwa terdapat kaitan yang sangat erat antara filsafat manusia dan filsafat pendidikan. Melalui filsafat pendidikan kita mendapat penjelasan tentang landasan-landasan filosofis pendidikan yang berperan penting menunjukkan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilaksanakan. Juga berperan penting dalam pengembangan potensi peserta didik.

HAKEKAT MANUSIA

Kegiatan pendidikan secara factual merupakan kegiatan antar manusia, oleh dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia dapat meningakat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga menjadi manusia yang relative lebih baik, lebih berbudaya dan lebih manusiawi. Agar kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya dan berhasil guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif tentang hakekat manusia.

Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, apakah dan siapakah manusia itu? Dalam beberapa pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan pengertian atau definisi tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya adalah manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum. Pandangan yang lain yang berbeda dalam melihat manusia, yakni sebagai makhluk multidimensional. Manusia memiliki dimensi-dimensi: keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaamaan. (Tirtaraharja dan La Sulo, 1985: 16) Jose Ortega Y Gasset sebagaimana dimuat dalam “Manusia Multidimensional: Sebuah Renungan Filsafat” (1982: 101), mengusulkan dimensi kesejarahan.

Manusia dilihat dari dimensi keindividualan memiliki keunikan sendiri-sendiri. Setiap individu ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri, yang berbeda dari yang lain. Tidak ada individu yang identik dengan individu yang lain. Bahkan dua orang anak yang kembar sekali pun tidak dapat dikatakan identik. Dengan adanya keindividualan ini, maka setiap orang memeiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda.

Dilihat dari dimensi kesosialan, manusia dilahirkan telah dkarniai potensi untuk hidup bersama dengan orang lain. Manusia memiliki potensi sebagai makhluk social. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Apa yang dikatakan Kant cukup jelas, bahwa hidup bersama dan berada di antara manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai makhluk social, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam keadaan saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya.

Dilihat dari dimensi kesusilaannya, manusia memiliki kemampuan untuk berbuat kebaikan dalam arti susila atau moral, seperti bersikap jujur, dan bersikap/berlaku adil. Manusia susila menurut Drijarkara (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 20) adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Agar anak dapat berkembang dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan dengan banyak diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan, seperti memberikan uang pada peminta-minta, bakti social dsb.

Dilihat dari dimensi keberagamaannya, pada dasarnya manusia adalah makhluk religius, sebagaimana telah disinggung di depan. Sebagai makhluk religius, manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan supranatural di luar dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia disebut dengan berbagai nama atau sebutan, satu di antaranya adalah sebutan Tuhan. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertaqwa.

Dunia manusia, kata Ortega Y. Gasset, bukan sekedar suatu dunia vital seperti pada hewan-hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehidupannya lebih dari sekedar peristiwa biologis semata,. Berbeda dengan kehidupan hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai “hidupku” dan “hidupmu”- sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hdup manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarah (dalam Sastrapratedja, 1982: 106). Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan mampu membuat rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah.

Menurut Notonagoro, manusia adalah makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tetapi dilihat dari segi kedudukannya, susunannya, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis. Rinciannya sebagai berikut: dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk monodualis: terdiri dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono), yakni sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis, maksudnya terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya, manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur individual dan unsur sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Secara keseluruhan, manusia adalah makhluk monopluralis seperti disebutkan di depan.

Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan manusia itu sendiri. Pengembangan semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu dilakukan melalui dan dengan pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pendidikan dan manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif..

FILSAFAT PENDIDIKAN

Landasan Metafisis

Di dalam filsafat terdapat tiga aspek yang sekaligus dijadikan landasan: yakni landasan metafisis/ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Landasan metafisis/ontologis membahas masalah realitas. Apakah realitas itu? Apakah realitas itu wujudnya mental spiritual atau berwujud materi. Landasan epistemologis membahas masalah pengetahuan termasuk bagaimana cara menpendapatkan pengetahuan itu? Sedangkan landasan aksiologis membahas tentang nilai, apakah nilai itu, apakah nilai itu absolute atau relative?

Dalam tulisan ini hanya menampilkan tiga aliran filsafat yaitu idealisme, realisme dan pragmatisme sebagai sampel untuk memperjelas keterangan mengenai landasan-landasan filosofus tersebut. Meskipun sangat disadari bahwa perkembangan pemikiran dewasa ini begitu sangat beragam seperti munculnya pandangan atau aliran: poststrukturalist, postmodernist, postpatriarchal dan psot-Marxist (Paulston, 1995: 137)

Menurut pandangan idealisme (Akinpelu, 1988: 132), apa yang dinamakan realitas adalah sesuatu yang bersifat mental-spiritual dan tidak mengalami perubahan. Dalam konteks pendidikan, peserta didik sebagai realitas dipahami sebagai sosok spiritual yang merupakan bagian dari alam semesta yang spiritual pula.. Juga dikaitkan dengan materi pelajaran atau bahan ajar, maka materi pelajaran atau bahan ajar itu menyangkut hal-hal yang sifatnya mental-spiritual seperti yang terdapat pada materi atau bahan ajar pendidikan kewarganegaraan, pendidikan Pancasila dan pendidikan agama.

Dalam pandangan realisme (Ornstein and Levine, 1985: 191-192), realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya obyektif, tersusun dari materi dan bentuk dan berdasarkan hukum alam. Sesuatu yang obyektif maksudnya adalah sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia, seperti: keberadaan meja, kursi, pohon, air, matahari dan sejenisnya. Menurut teori hylemorphisme Aristoteles, meja tersusun dari materi dan bentuk. Materi atau bahannya dapat terbuat dari kayu, rotan maupun besi. Sedangkan bentuknya bentuk meja. Disebut meja, karena bentuknya meja. Meskipun bahan atau materinya sama yaitu dari kayu, tetapi karena bentuknya berbeda, maka namanya juga berbeda. Menurut Aristoteles, realitas obyektif seperti meja dan kursi dan sejenisnya tidak dapat terhindar dari hukum alam, pada awalnya masih baru, lama-kelamaan akan lapuk dan rusak. Jika pandangan ini dikaitkan dengan bahan ajar atau mata pelajaran, maka bahan ajar atau mata pelajaran memuat hal-hal yang sifatnya obyektif seperti tercermin pada mata pelajaran IPA.

Dalam pandangan pragmatisme (Ornstein and Levine, 1985: 199-200), realiats itu dipahami sebagai sesuatu yang dihasilkan dari interaksi antara individu dengan lingkungannya, dan selalu berubah. Makin banyak individu berinteraksi dengan lingkungannya, maka dia akan semakin kaya realitas yang diketahui. Jika dikaitkan dengan bahan ajar atau materi pelajaran, maka bahan ajar atau materi pelajaran harus berisi hal-hal yang memungkinkan adanya interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, seperti banyak dipraktekkan pada anak-anak TK dan sejenisnya yang memanfaatkan hari-hari tertentu untuk jalan-jalan mengamati sesuatu yang dilaluinya sambil refreshing. Hal ini jika dilakukan pada wilayah yang lebih luas akan memperkaya realitas yang dimiliki oleh anak-anak atau peserta didik.

Landasan Epistemologis

Landasan epistemologis berkaitan dengan masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran. Pertanyaan mendasar yang biasa diajukan dalam kaitannya dengan masalah pengetahuan adalah: apakah pengetahuan itu? Pertanyaan ini ingin memperoleh jawaban tentang hakekat pengetahuan. Pertanyaan lainnya, bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan? Darimana sumbernya. Pandangan epistemologis antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan manusia diperoleh lewat kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan manusia selalu subyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Di sini terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek dapat mengetahui obyeknya, karena dalam dirinya memiliki kemampuan-kemampuan, khususnya kemampuan akali dan inderawinya (Pranarka, 1987: 36-38).

Dalam kenyataan, manusia dapat memperoleh pengetahuan lewat berbagai sumber atau sarana: external sense experience dan internal sense experience, reason, intuition, revelation, faith, tradition and common-sense. (Thiroux, 1985: 478-483).

Meskipun manusia dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi dalam kenyataan, manusia tidak mampu untuk merengkuh obyeknya secara total dan utuh. Apa yang diketahui manusia selalu saja ada yang tersisa. Dalam istilah Michael Polanyi (1996), “ada segi tak terungkap dari pengetahuan manusia”. Dengan kata lain, manusia hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak mampu menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa pengetahuan manusia itu relatif. Relativitas pengetahuan manusia itu disebabkan sekurang-kurangnya karena keterbatasan kemampuan manusia sebagai subyek yang mengetahui, dan juga karena kompleksitas obyek yang diketahui.

Jika pengetahuan manusia itu relatif, apakah kebenaran itu ada? Dengan kata lain, apakah pengetahuan manusia itu benar adanya? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan berbagai teori kebenaran seperti teori-teori: koherensi, korespondensi, pragmatis dan konsensus. Dalam pandangan yang lain, kebenaran itu meliputi: kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis atau kebenaran moral.

Dalam filsafat pendidikan, masalah pengetahuan antara lain terkait dengan masalah kurikulum, belajar dan metode pembelajaran (teaching-learning process). Karena pengetahuan manusia tidak dapat dilepaskan dengan masalah isi pengetahuan (realitas), maka dalam pandangan Ornstein and Levine (1985: 186), masalah realitas tercermin “in the subjects, experiences and skills of the curriculum”. Bagi peserta didik, sumber pengetahuan bukan hanya dari guru atau dosennya, melainkan juga dapat dari buku-buku pustaka, internet maupun dari sumber yang lain.

Menurut pandangan idealisme, mengetahui itu berarti memikirkan kembali gagasan-gagasan yang sudah dimiliki dan tersembunyi (latent ideas). Pengetahuan manusia itu sifatnya a priori. Dengan introspkesi, seseorang akan mengetahui berbagai hal, karena pada dasarnya manusia ketika lahir sudah membawa ide-ide. Dalam konteks ini guru atau dosen memiliki tugas untuk memunculkan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didiknya.

Berbeda dengan idealisme, realisme berpandangan bahwa pengetahuan seseorang diperoleh lewat sensasi dan abstarksi. Dengan memanfaatkan panca inderanya seseorang menangkap berbagai macam obyek riil di luar dirinya, kemudian proses abstraksi dilakukan untuk mengambil kesan-kesan umum sehingga tersimpan dalam kesadaran seseorang. Dalam konteks ini, tugas guru atau dosen adalah mengajak peserta didiknya mengamati dan memanfaatkan panca inderanya digunakan untuk memperoleh pengetahuan, karena lewat sensasi itu obyek-obyek pengetahuan di ouar dapat diketahui, kemudian terbentuklaah konsep tentang sesuatu itu lewat daya abstraksinya.

Menurut pragamatisme, untuk dapat memiliki pengetahuan tentang sesuatu obyek, seseorang harus melakukan interaksi dengan lingkungan di mana obyek-obyek pengetahuan itu berada. Dengan interaksi itu seseorang dapat hidup, tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pengetahuan seseorang itu selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi akibat ineteraksi seseorang dengan lingkungannya secara terus menerus. Dengan berinteraksi, pengetahuan seseoarng bertambah dan berkembang. Dengan berinteraksi pula lingkungan juga diubah dan dikembangkan oleh pengetahuan seseorang. Dalam konteks pendidikan, pemebelajaran yang disarankan oleh aliran ini adalah lewat eksperimen, pengalaman langsung dan metode problem solving.

Landasan Aksiologis

Landasan aksiologis berkaitan dengan masalah nilai, baik nilai kebaikan (etika), maupun nilai keindahan (estetika). Pertanyaan sentarlnya antara lain: Apakah nilai itu? Apakah nilai itu absolut ataukah relatif ? Dalam filsafat pendidikan, masalah nilai merupakan bagian yang sangat penting, karena dalam pendidikan, bukan hanya menyangkut transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman dan pengembangan nilai-nilai, baik nilai-nilai kebaikan, maupun keindahan. Meskipun dalam filsafat nilai pada umumnya ada dua (2) kategori besar nilai, yakni nilai kebaikan dan nilai keindahan. Akan tetapi jika dikaji dari berbagai pandangan, antara lain dari pandangan Notonagoro, selain dua nilai tersebut juga ada nilai kebenaran, dan nilai keagamaan (Iqbal Hasan, 2002: 188). Nilai kebaikan (etis) berkaitan dengan karsa atau kehendak manusia. Artinya, perbuatan atau tindakan seseorang terkena penilaian etis, jika perbuatan atau tindakan itu itu dilakukan dengan sengaja, atau memang dikehendaki. Persoalannya adalah bagaimana kita dapat mengetahui perbuatan atau tindakan seseorang yang mana yang disengaja dan yang tidak disengaja? Dalam hal ini, akal manusia sangat berperan untuk mengetahui mana yang disengaja dan mana pula yang tidak. Logika seseorang dapat membantu mengetahui hal ini.

Nilai keindahan berkaitan dengan rasa manusia. Dengan rasa itu seseorang dapat memberikan apresiasi estetis terhadap karya seni, apakah karya seni itu memiliki nilai keindahan atau tidak. Nilai kebenaran berkaitan dengan akal manusia, sehingga dapat menghasilkan penalaran yang logis dan rasional serta dapat memperoleh kenyataan/kebenaran. Sedangkan nilai keagamaan berkaitan dan bersumber dari kepercayaan/keyakinan seseorang dengan disertai penghayatan melalui akal dan hati nuraninya. Nilai keagamaan atau religius ini merupakan nilai ketuhanan. Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai tersebut diupayakan agar dapat diketahui, dihayati dan menjadi miliki peserta didik, sehinggga sikap dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai telah dmilikinya itu. Ini menjadi sebagian tugas seorang pendidik.

Menurut pandangan idealisme, nilai itu sifatnya absolut dan abadi. Pandangan ini mirip dengan pandangan realisme. Menurut realisme, nilai memang absolut dan abadi, akan tetapi tetap berdasarkan hukum alam. Sedangkan menurut pragmatisme, nilai sifatnya situasional dan relatif. Dalam konteks pendidikan, kita selalu dihadapkan pada dua pandangan besar yaitu pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya mutlak dan abadi dan pandangan yang menganggap nilai itu sifatnya situasional dan relatif. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus pandai-pandai mengakomodasi dua pandangan besar itu, nilai-nilai mana yang sifatnya absolut dan abadi, dan nilai-nilai mana yang sifatnya situasional dan relatif.

Landasan-landasan filosofis pendidikan jika dibicarakan secara lebih elaboratif dan jelas serta dapat dipahami oleh para pendidik diharapkan dapat membantu para pendidik mengoptimalisasikan tugas kependidikannya, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tersebut didasarkan pada pijakan atau landasan filosofis yang jelas. Apakah berpijak pada pandangan idealisme, realisme, pragamatisme atau pandangan yang lain atau justru mencoba menggabungkan berbagai pandangan yang ada. Yang lebih penting lagi, para pendidik dapat mengembangkan seluruh potensi positif peserta didiknya kea rah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih berbudaya.

Pandangan filsafat idealism dikembangkan oleh esensialisme. Pandangan filsafat realism dikembangkan oleh perenialisme dan esensialisme. Sedangkan filsafat pragmatism dikembankan oleh progresivisme dan rekonstruksionisme social. Esensialisme dan perenislisme mewakili pandangan yang konservatif tentang pendidikan, sedangkan progresivisme dan rekonstruksionisme mewakili pandangan yang progresif.

PENDIDIKAN DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI

Ketika orang mendengar kata ‘pendidikan’, mungkin yang terbayang pertama kali adalah isinya pasti soal nilai dan sikap, yang sengaja ditanamkan kepada si terdidik (transmission of values), dan tentunya adalah nilai dan sikap yang positif, yang diharapkan mampu membawa kepada yang bersangkutan menjadi orang yang baik, atau bersikap baik, karena didorong oleh nilai-nilai kebaikan. Seolah-olah tiga aspek rohani manusia sudah tercakup di dalamnya, yakni: aspek kognitif, afektif dan konatif. Ketika peserta didik diperkenalkan dengan nilai-nilai kebaikan tertentu untuk selanjutnya ditanamkan atau ditransmisikan kepada mereka, harapannya peserta didik sudah mengetahui atau mengenal nilai-nilai tersebut, kemudian merespons nilai-nilai tersebut dengan sikap pribadinya, untuk selanjutnya tergerak hatinya untuk mewujudkan nilai-nilai yang diketahuinya itu dan menjadi pendorong untuk melakukan perbuatan baik dan terpuji. Inilah yang seharusnya terjadi (das sollen).

Akan tetapi, jika kita bertolak dari kejadian sehari-hari, baik dalam lingkungan masyarakat di sekitar tempat kita tinggal, atau ketika kita dalam perjalanan, maupun ketika kita menyaksikan lewat media massa, maka ternyata (das sein) bayangan kita meleset, karena bertolak belakang dengan apa yang kita bayangkan semula, setidak-tidaknya kurang sesuai dengan yang kita harapkan. Banyak di antara orang yang berpendidikan, ternyata mereka pulalah orang yang merusak citra pendidikan itu sendiri. Seolah-olah nilai dan sikap yang pernah ditanamkan kepada mereka sejak kecil sampai pada jenjang pendidikan tertinggi mereka, belum atau tidak pernah terjadi, atau lenyap begitu saja. Pertanyaan kita tentunya adalah “apa yang salah dari semua ini?” Apakah faktor individunya atau karena faktor lingkungan termasuk faktor pendidikannya? Ketika banyak warga bangsa yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi, narkoba, tindak kriminal dan perilaku negatif lainnya, yang notabene dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan, mungkin ada sebagian orang yang mengaitkan perilaku tersebut dengan karakter atau watak bangsa. Orang kemudian mencoba mengaitkan antara pendidikan dengan pembentukan karakter dan pembangunan bangsa (nation and character building). Melihat Fenomena sosial ini tentunya bukan hanya karena adanya kesalahan dalam kegiatan pendidikan kita semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor –faktor di luar pendidikan. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa kegiatan pendidikan tidak berada di ruang kosong, melainkan dalam masyarakat yang selalu berubah dengan sangat cepat dan dipengaruhi oleh factor-faktor yang lain seperti ekonomi, politik, dan budaya yang tidak hanya berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif. Dengan kata lain, terdapat pengaruh timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. (Fagerlind and Saha, 1983: 196)

Persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia misalnya, bukan hanya menyangkut persoalan moral, melainkan juga menyangkut hilangnya jatidiri masyarakat dan bangsa ini, sebagaimana disinyalir oleh Yayasan Jatidiri Bangsa (dalam Tilaar, 2010: 1) berikut ini:

“ sifat ramah-tamah, sopan-santun, dan suka menolong yang sering dilekatkan pada kita ternyata telah mengalami deteroisasi atau perusakan yang cukup mencolok. Sifat ramah-tamah berubah menjadi sifat beringas, sifat sopan-santun berbalik menjadi kasar, berangasan, dan bar-bar, sifat suka menolong memudar menjadi egois dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Sementara perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan bukannya memperkokoh toleransi dan persatuan, tetapi malah memperuncing perbedaan.”

Apa yang sekarang dialami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia sudah dialami oleh masyarakat dan bangsa Amerika 20 tahun yang lalu, sebagaimana disampaikan oleh dua orang Amerika berikut ini. Menurut seorang jurnalis Amerika Nancy Gibbs yang disampaikan pada tahun 1990 (dalam Cookson and Schneider, 1995: xi) “setiap delapan detik pada hari sekolah seorang anak drops out. Setiap 26 detik seorang anak melarikan diri dari rumahnya. Setiap 47 detik seorang anak berlaku kejam, Setiap 67 detik seorang anak belasan tahun melahirkan seorang bayi. Setiap 7 menit seorang anak ditangkap karena terlibat narkoba. Setiap 36 menit seorang anak terbunuh atau dilukai dengan senjata. Setiap hari 135.000 anak membawa senjata ke sekolah. Sementara Richard Stivers dalam bukunya The Culture of Cynicism: American Morality in Decline (1994: 167) menyatakan bahwa masyarakat Amerika sekarang ini (saat buku tersebut ditulis) sedang mengalami kemerosotan moral. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya angka kejahatan di jalan raya, erosi kewarganegaraan, dan hilangnya rasa hormat terhadap pemegang otoritas. Juga berkurangnya rasa belas kasihan kepada orang-orang miskin, meningkatnya kerakusan dan perasaan lebih mementingkan dirinya sendiri dan hilang atau pudarnya perhatian pada kebaikan umum. Diakui oleh Stivers bahwa meskipun yang dibicarakan dalam bukunya itu adalah potret moralitas orang-orang Amerika, tetapi apa yang terjadi sekarang (pada saat buku itu ditulis) pada masyarakat Amerika merupakan gambaran moralitas masa depan dari seluruh masyarakat modern. Dengan kata lain, masyarakat Amerika menjadi model bagi masyarakat di dunia.

POLARITAS KEGIATAN MANUSIA DAN FUNGSI PENDIDIKAN

Pandangan Cassirer, seorang filsuf kebudayaan abad ke-20 berikut dapat dijadikan acuan untuk melihat secara lebih jernih fungsi pendidikan. Menurut Cassirer (1990: 339), kita dapat menemukan polaritas dasariah dalam semua kegiatan manusia. Kita dapat menemukan adanya ketegangan antara stabilisasi dan evolusi, antara kecenderungan ke arah bentuk-bentuk yang tetap dan stabil di satu pihak, dan kecenderungan untuk mendobrak pola yang ketat di pihak yang lain. Dalam kenyataan, manusia selalu terombang-ambing antara dua kecenderungan ini, yang satu mau melestarikan bentuk-bentuk lama, sedang yang lain terdorong menciptakan hal-hal baru. Jadi, ada semacam pergolakan yang tidak kunjung reda antara tradisi dan inovasi, antara kekuatan reproduktif dan kekuatan kreatif. Menurutnya, dualisme ini terdapat pada semua bidang kehidupan budaya. Yang membedakan adalah proporsi di antara faktor-faktor yang bertentangan itu. Di sini satu faktor lebih kuat, di sana faktor lain lebih kuat.

Dari pendapat Cassirer tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa dalam semua kegiatan manusia selalu ada yang sifatnya tetap dan ada yang selalu berubah, dan manusia selalu berada dalam ketegangan di antara keduanya. Pendapat Cassirer tersebut jelas menegaskan kembali pandangan para filsuf Yunani Kuno yang diwakili oleh tokoh utamanya yaitu Parmenides dan Herakleitos. Menurut Parmenides (Bertens, 1988: 44-47) , “yang ada” itu bersifat kekal dan tak terubahkan. Karena seandainya ada perubahan, itu berarti bahwa “yang ada” menjadi “yang tidak ada” atau “yang tidak ada” menjadi “yang ada”. Hal itu tidak mungkin. Jadi, perubahan itu tidak mungkin. Sedangkan menurut Herakleitos seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir. “Engkau tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama”. Ungkapan terkenal untuk menggambarkan pandangan Herakleitos itu adalah panta rhei kai uden menei, yang artinya: “semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap”.

Adanya polaritas dasariah dalam semua kegiatan manusia sebagaimana dikemukakan oleh Cassirer tersebut, menurut hemat kami juga terjadi dalam pendidikan. Dari beberapa pandangan para ahli tentang pendidikan di atas menunjukkan bahwa fungsi pendidikan itu juga ada yang mengarah ke sesuatu yang sifatnya tetap yaitu kegiatan-kegiatan yang sifatnya reproduktif dan mempertahankan stabilisasi. Di sisi yang lain, fungsi pendidikan juga ada yang mengarah ke sesuatu yang sifatnya evolutif dan kreatif. Beberapa aliran atau tokoh yang telah disebutkan di atas telah dengan jelas memperlihatkan dua fungsi utama pendidikan tersebut. Dua fungsi utama pendidikan tersebut nampaknya masih tetap relevan, mengingat masing-masing memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda namun sama-sama dibutuhkan. Steven Glazer dalam The Heart of Learning: Spirituality in Education (1999: 4) mengatakan, bahwa tradisi dan inovasi diperlukan untuk menyeimbangkan masa lalu, sejarah dan tradisi-tradisi kita dengan keterbukaan yang berkelanjutan terhadap masa sekarang dan kebutuhan akan masa yang akan datang.

Dewasa ini pendidikan dihadapkan pada berbagai macam ketegangan, sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Internasional Bidang Pendidikan UNESCO (Delors, 1998: 17-18). Komisi ini secara gamblang menyatakan bahwa memasuki abad ke-21 ini pendidikan dihadapkan pada adanya 7 (tujuah) macam ketegangan, yaitu:

1. ketegangan antara yang global dan yang lokal;

2. ketegangan antara yang universal dan yang individual;

3. ketegangan antara tradisi dan modernitas;

4. ketegangan antara pertimbangan jangka pendek dan jangka panjang;

5. ketegangan antara perlunya kompetisi dan persamaan kesempatan;

6. ketegangan antara ekspansi pengetahuan dan kemampuan manusia untuk mengasimilasikannya;

7. ketegangan antara yang spiritual dan yang material;

Dengan memperhatikan ketujuh macam ketegangan yang dihadapi oleh pendidikan tersebut, menunjukkan bahwa tugas yang diemban oleh para pelaku pendidikan seperti orang tua, guru, dan pendidik lainnya, serta para pengelola pendidikan semakin berat. Hal ini berarti mereka yang terlibat dalam kegiatan pendidikan harus mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai global dan nilai-nilai lokal, antara nilai-nilai universal dan nilai-nilai individual, antara tradisi dan modernitas, antara perlunya kompetisi dan persamaan kesempatan, antara ekspansi pengetahuan dan kemampuan manusia untuk mengasimilasikannya dan antara yang spiritual dan yang material.

PERAN PENDIDIKAN DAN PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER

Untuk dapat memiliki generasi yang memiliki karakter yang baik, kuat dan unggul diperlukan pendidikan, sebagaimana dinyatakan oleh Plato. Gagasan Plato tentang pendidikan sebenarnya untuk menjawab persoalan bagaimana menimbang dan memilih para penjaga negara yang tidak hanya beringas dan sewenang-wenang terhadap sesama warga negara, melainkan juga yang tidak membahayakan eksistensi negara itu sendiri. Secara singkat, dia bertanya: siapa “yang cocok” untuk menjadi penjaga negara? Dari pertanyaan tersebut kemudian disepakati bahwa para penjaga negara harus dipilih, dan kriteria untuk memilihnya adalah mereka yang berindera tajam, cekatan dalam memahami segala persoalan, kuat, berani, dan memiliki jiwa yang bersemangat. Di sini lalu timbul pertanyaan, bagaimana dapat diperoleh para penjaga dengan sifat-sifat semacam ini? Salah satu jawabannya adalah melalui pendidikan. Menurut Plato, pendidikan adalah alat pembentukan karakter, baik bagi para penjaga, maupun bagi seluruh warga negara (dalam Jena, 2002: 54-55)’

Adapun mengenai pengertian pendidikan karakter dapat kita pahami dari dua definisi berikut ini. Pertama, definisi yang diambil dari tulisan Robert Shumer dalam artikelnya yang berjudul “Connecting Character, Service and Experiential Education” (dalam Goh Kim Chuan et. als. 2010: 25):

“Character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through emphasis on universal values that we all share. It is the intentional, proactive effort by schools, districts, and states to instill in their students important core, ethical values such as caring, honesty, fairness, responsibility, and respect for self and others.”

Definisi kedua diambil dari tulisan Amin Abdullah (2010: 3-5) bahwa “pendidikan karakter adalah pendidikan kemanusiaan yang bertujuan menjadikan manusia “baik”. Menurutnya, pendidikan karakter memang diawali dengan pengetahuan atau teori, Pengetahuan tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, dan budaya. Dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. Dari rangkaian panjang itu yang paling penting adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Yang terjadi selama ini yang dipentingkan adalah mengetahui atau menghafal tanpa kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkannya di lapangan, sehingga pendidikan karakter lebih berorientasi pada intelektualisme etis. Menurutnya, pendidikan karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi daripada intelektualitas.

Dari dua definisi pendidikan karakter tersebut, dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter itu dilakukan dengan upaya yang sistematis oleh pihak yang memiliki otoritas seperti pemerintah dan lembaga pendidikan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar masyarakat termasuk peserta didik memiliki sikap dan perilaku moral yang baik seperti: kejujuran, ketulusan hati, memiliki kepedulian dan rasa hormat kepada orang lain, dan tanggung jawab. Inti pendidikan karakter adalah pada sikap dan perilakunyata, bukan sekedar pengetahuan. Dalam kaitan ini Thomas Lickona (1991: 51) berpendapat bahwa karakter memiliki 3 (tiga) bagian: moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Karakter yang baik berisi 3 (tiga) hal pula yakni knowing the good, desiring the good, dan doing the good. Untuk dapat memiliki kemampuan seperti nitu diperlukan 3 (tiga) hal pula yaitu Habits of the mind, habits of the hart, and habits of action.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 disebutkan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dengan demikian, upaya kita mengangkat pentingnya pendidikan karakter, pendidikan watak mendapatkan legitimasinya dalam Undang-Undang ini. Sudah tentu pendekatan legal-formal saja tidak cukup, melainkan juga harus dibarengi dengan kesadaran bersama, komitmen bersama dan berupaya bersama untuk merealisasikan pendidikan karakter ini dalam semua aspek kehidupan. Upaya ini harus dilakukan bukan hanya oleh masing-masing keluarga dan pihak pendidik di lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, melainkan harus juga dilakukan oleh semua komponen bangsa secara sinergis. Dengan ungkapan yang lain, masalah pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama semua komponen masyarakat dan bangsa Indonesia.

Meskipun diyakini bahwa pendidikan dapat membentuk karakter atau watak bangsa, tetapi dalam kenyataan sejarah bangsa kita, pembangunan manusia lewat pendidikan bergeser fungsinya dari fungsi menanamkan ideologi dan mewariskan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi baru ke fungsi ekonomi, yakni mempersiapkan tenaga kerja untuk berpartisipasi dalam proses produksi. Jika fungsi pertama lebih menekankan fungsi pendidikan sebagai gejala kebudayaan, di mana pendidikan berfungsi menciptakan members of the nation-state, sebagai warga negara yang baik, yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai anggota suatu masyarakat dan bangsa. Fungsi kedua pendidikan justru lebih sebagai gejala ekonomi yakni mempersiapkan seseorang untuk memasuki pasar tenaga kerja lewat serangakaian proses pembelajaran. Adanya pergeseran fungsi pendidikan ini tentu cukup beralasan karena proses pendidikan dalam kenyataannya selalu berinteraksi dengan “dunia lain” utamanya dunia politik dan ekonomi. Bahkan dunia tersebut berupaya keras untuk dapat mendominasi dunia pendidikan (Zamroni, 1993: 147-8).

Dari kenyataan tersebut, maka untuk mebangun karakter dan bangsa diperlukan political will atau komitmen dari pemerintah atau penguasa. Mengapa? Karena sejarah telah membuktikan bahwa pemerintah atau penguasa sangat menentukan dalam membentuk karakter dan membangun bangsa, setidak-tidaknya hal itu telah dipraktekkan pada dua dasa warsa pasca kemerdekaan negeri ini dengan penekanan pada upaya membangun semangat nasionalisme. Bahkan pemerintah merupakan kekuatan utama yang mampu menentukan arah dan kebijakan pendidikan, di samping yang paling mampu menyediakan fasilitas pendidikannya. Ini berarti, arah dan kebijakan pendidikan banyak dipegaruhi oleh kepentingan ekonomi dan juga oleh kepentingan politik. Kalau keduanya berkolaborasi untuk menekan dan mendominasi pendidikan, maka akan muncul apa yang dinamakan eco-paedagogical dictatorship (Zamroni, 1993: 149).

Dengan adanya kesadaran bahwa proses pendidikan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah (Fagerlind and Saha, 1983: 196), yang berinteraksi dengan dunia lain, utamanya dengan dunia politik dan ekonomi, maka menjadi tidak mungkin, jika kita bangsa Indonesia hanya mempertahankan fungsi preservatif pendidikan tanpa terlibat dalam fungsi pendidikan yang lain yakni fungsi pengembangan sumber daya manusianya. Dengan fungsi ini pendidikan juga ikut mempersiapkan lulusannya memasuki dunia kerja. Meskipun demikian, bangsa Indonesia harus tetap pada komitmennya dan merealisasikan komitmennya untuk lebih mengedepankan aspek moralitas bangsa dalam kiprah pembangunannya, dan itu berarti pendidikan nilai, pendidikan watak dan pendidikan moral harus lebih dikedepankan daripada pendidikan yang lainnya, karena pendidikan nilai, watak dan moral melandasi aspek-aspek pendidikan yang lain. Dalam hal ini Driyarkara berpendapat bahwa intisari atau “eidos” dari pendidikan itu tidak lain adalah pe-manusia-an manusia muda. Pendidikan itu hendak memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani (Driyarkara, 1980: 78). Dari pendapat Driyarkara ini dapat ditegaskan bahwa pendidikan itu fungsi utamanya adalah memanusiakan manusia, menjadikan manusia lebih manusiawi, menjadikan manusia lebih berbudaya, lebih pandai secara intelektual, dan lebih baik secara moral. Yang ingin ditegaskan oleh Driyarkara itu adalah bahwa dengan pendidikan itu dapat menjadikan manusia bukan sekedar sama dengan makhluk hidup yang lain (hominisasi), melainkan juga menjadikan manusia lebih manusiawi dan lebih berbudaya (humanisasi). Namun, dalam praktik seringkali yang terjadi bukan humanisasi peserta didik, yakni memperlakukan peserta didik sebagai subyek didik yang aktif, melainkan dehumanisasi peserta didik. Dalam hal ini pendidik terlalu hegemonis, dominatif, dan otoriter, sehingga cenderung mematikan kreativitas peserta didik, dan ini oleh Carnoy disebut cultural imperialism ( Carnoy, 1974: 3).

DAFTAR PUSTAKA

Akinpelu, J.A. (1988). An Introduction to Philosophy of Education. London and Basingtoke: Macmillan Publishers Ltd.

Amin Abdullah (2010). Pendidikan Karakter: Mengasah Kepekaan Hatinurani. Materi Sarasehan Nasional Pedidikan Karakter, Kerjasama antara Ditjen Dikti dan Kopertis V DIY.

Bertens, K. (1984). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Carnoy, Martin. (1974). Education as Cultural Imperialism. New York: David Mc KAY Company, Inc.

Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A Nugroho. (1990). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Chuan, Goh Kim (et.als)(2010). Character Developmement through Service Experiential Learning. Singapore: Prentice Hall

Cookson, Peter W. Jr. And Schneider, Barbara (Eds.) (1995). Transforming School. New York # London: Garland Publishing, Inc.

Delors, Jacques (et.al.). (1998). Learning The Treasure Within. Farnce: UNESCO Publishing.

Driyarkara (1980). Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Fagerlind, Ingemar and Lawrence J. Saha. (1983). Education and National Development: A Comparative Perspective. Oxford: Pergamon Press.

Glazer, Steven (Ed.). (1999). The Heart of Learning: Spirituality in Edeucation. New York: Penguin Group.

Jena, Jeremias (2002). ”Pendidikan sebagai Kontrol Sosial dan Kebebasan Individu: Diskursus mengenai Pendidikan menurut Plato” dalam Majalah Filsafat Driyarkara. Th. XXV Nomor 4, April 2002.

Lickona, Thomas (1991). Educating for Character: How our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Ornstein, Allan C. And Levine, Daniel U. (1985). An Intruduction to the Foundations of

Education. Boston: Houghton Mifflin Company.

Paulston, Rolland G. “Mapping Knowledge Perspectives in Studies of Educational Change” in

Cookson, Peter W. and Schneider Barbara (Eds.). 1995. Transforming School. New York & London: Garland Publishing, Inc.

Polanyi, Michael. 1996. Segi tak terungkap Ilmu Pengetahuan. Diterjemahkan oleh Mikhael Dua. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Pranarka, A.M.W.1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Sastrapratedja, M. (1982). Manusia Multidimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: enerbit PT Gramedia.

Stivers, Richard (1994). The Culture of Cynicism: American Morality in Decline. Oxford and Cambridge: Blackwell.

Tilaar, H.A.R. (2010). Karakter Bangsa yang Cerdas, Makna dan Pengembangannya: Suatu Tinjauan Paedagogis. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, Diselenggarakan oleh BEM FIP UNY, 30 April 2010.

Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. (1994). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbu.

Thiroux, Jacques P. 1985. Philosophy Theory and Practice. New York: Macmillan Publishing Company.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Zamroni (1993). ”Perkembangan Pendidikan dalam Bayang-bayang Ekonomi: Perlunya Kekuatan Nasional Pendidikan” dalam Prospektif. Volume 5 Nomor 3, Tahun 1993.

Posting Komentar untuk "PERAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI PESERTA DIDIK UNTUK MEMBANGUN GENERASI YANG BERKARAKTER"